Relakan Saja, Ya Nak!

Selasa, Maret 15, 2016 2 Comments A+ a-

Dari hasil rontgen, dokter menyatakan...
Sumber Gambar


Skenario Allah berlanjut.

“Ibu, Amy keluar darah usai batuk.”

“Lho kok bisa?”

“Iya, Ibu. Sudah beberapa kali, Amy usai batuk mengeluarkan darah.”

“Astagfirullah…”

Usai Salat Ashar, salah satu santri asal Ambon memberitahuku perihal teman sekamarnya, Amy Salamsanaki yang keluar darah usai batuk.

Bumi seperti berhenti berotasi. Memoriku berputar kembali hampir satu tahun yang lalu. Sungguh teriris hati ini, mendengar kabar itu.

“Sekarang Amy dimana? Sudah diperiksa ke dokter belum?” tanyaku khawatir.

“Sudah Ibu. Ustadzah Rona sudah membawanya ke dokter. Amy sekarang di kamar, sedang tiduran saja,” jawab santriku dengan logat khas Ambon.

Dengan sigap, aku langsung menemui Ustadzah Rona. Aku lihat hasil rontgen milik Amy. Benar, toraks-nya seperti toraks-ku dulu. Paru-parunya ditutupi putih-putih, hampir seluruh permukaannya. Ya Allah… Berita ini bagaikan petir untukku. Amy positif menderita TBC.

Aku memang baru sembuh empat bulan yang lalu. Paru-paruku sudah terbebas dari bakteri TBC sebelum aku menginjakkan kaki di pondok pesantren ini. Aku tak menyangka, salah satu santriku juga mengidap penyakit yang sama denganku. Aku cukup paham, bagaimana rasanya menderita TBC Paru-paru.

“Ustadzah tahu? Penderita TBC memang jarang sekali batuk. Namun, sekalinya ia batuk, sungguh sakit sekali rasanya. Bagaikan paru-parunya diremas dengan sangaaaaaat kuat. Sakit sekali, Zah!” Kataku kepada Ustadzah Rona. Bulu kudukku sampai berdiri semua.

“Iya, Bu Gia. Lalu, apa yang harus kami lakukan kepada Amy?” tanya Ustadzah Rona.

“Aku ingin bertemu dengannya!” pungkasku.


***

Aku adalah salah satu tenaga pendidik di Islamic Boarding School yang terkenal paling bersih di Banten. Pesantren ini memang menerima santri dari jalur reguler dan non reguler. Jalur non reguler menerima santri-santri yatim dan dhuafa. Salah satunya, santriku asal Ambon ini, Amy Salamsanaki.

Aku termenung. Apa yang harus aku lakukan. Aku ingat sekali, ketika aku mengidap TBC, aku harus merelakan orang-orang yang kusayangi menjahui diriku, sahabat, teman kampus, adik-adik, saudaraku, bahkan ummiku. Pengidap TBC Paru memang harus diisolasi keberadaanya. Sekalinya kami batuk, bakteri akan menyebar melalui perantara udara. Ketika berinteraksi dengan pengidap TBC, kami tidak boleh mengobrol dengan jarak yang dekat kepada orang-orang sehat di sekitar kami. Begitupun dengan makan dan minum, wadah kami tidak boleh bercampur dengan yang lain. Ya, memang pahit rasanya menjadi yang terasingkan.

“Gimana ya caranya menguatkan Amy? Bagaimana dengan santri-santriku yang tinggal sekamar dengan Amy? Ya Allah, bantulah aku agar aku bisa memberi pemahaman kepada mereka,” doaku dalam hati.

Di hari libur, hari Jumat, usai Shalat Dhuha, aku bergegas menuju kamar 01 yang berada di Gedung Sarjah. Disanalah kamar asrama Amy dan teman-teman kelas X Aliyah Putri. Amy sekamar dengan sembilan santri lainnya, tiga santri asal Cilegon dan tujuh santri asal Ambon. Dari rumah guru –tempat tinggalku-, aku telah membawa sekotak masker wajah dan sekotak susu kambing milikku. Ya, aku memang membawa perlengkapanku itu, hanya untuk berjaga-jaga saja.

***

“Haaaaaaiiiii, santri Aliyah kumpul… kumpul… dipanggil Ibu Gia nih!” perintah Aminah kepada teman-teman sekamarnya.

Jantungku berdegub kencang. Inilah momen untuk aku bisa menguatkan dan membesarkan hati Amy, sekaligus memberikan pengertian kepada teman-teman sekamarnya. Selang beberapa menit, santri-santri Aliyah berkumpul di kamar. Mereka membentuk lingkaran. Akupun duduk di dalam lingkaran itu. Ada yang baru saja mengangkat jemuran, ada yang baru selesai mandi, ada juga yang sedang piket membersihkan rak sepatu.

Aku memilih untuk memulai dengan bercerita. “Ibu punya sebuah cerita…”

“Tepat sebelum saya datang ke sini, saya mengidap sebuah penyakit yang membuat hati saya sediiiiiiih sekali. Tapi, tahukah kamu Nak, hati ini dibesarkan oleh Allah.”

“Namanya Tuberculosis. Kalau orang-orang sering menyingkatnya TBC. TBC itu ada tiga macam, Nak. Ada TBC Tulang, TBC Darah, dan yang paling banyak diderita oleh masyarakat Indonesia dalah TBC Paru-paru. Nah, saya mengidap TBC Paru-paru. Alhamdulilah Allah telah mengangkat penyakit saya ini sekitar empat bulan lalu. Masih baru banget kan?” lanjutku.

Mereka diam. Diam karena fokus sekali mendengarkan ceritaku. Padahal masih pembukaan cerita saja. Ku lirik sedikit ke arah Amy. Hanya ingin sekadar melihat bagaimana ekspresinya. Ternyata matanya sudah berkaca-kaca.

Aku baru menyadari, tubuh Amy mengurus. Tangannya tidak ada dagingnya. Hanya tulang yang diselimuti kulit coklatnya.

Aku melanjutkan cerita, “Di suatu malam, saya pulang menumpang Metro Mini. Kebetulan saat itu, lupa pakai masker wajah. Dan kebetulannya lagi, saya sedang tidak enak badan. Tak saya kira, ada seorang bapak umurnya tidak terlalu tua, sedang batuk-batuk di depan saya.”

“Keesokkan harinya saya sakit dan batuk-batuk juga. Batuk-batuknya sudah lama sekali, hampir satu sampai dua bulan. Yang saya lakukan saat itu hanyalah meminum obat batuk biasa saja. Namun, lama-kelamaan, badan saya mengurus, napsu makan turun drastis, dan jika sedang batuk, rasanya Subhanallah sakit sekali, Nak.”ungkapku.

Selain harus diasingkan, pengidap TBC juga harus disiplin meminum obat. Ada yang sampai 6 bulan, 8 bulan, bahkan ada juga yang hampir satu tahun. Meminum obanya tidak boleh putus, harus berangsur-angsur di waktu yang tepat. Jika kami kelupaan meminum obat, maka pengobatannya akan diulang dari awal lagi. Menghentikan pengobatan terlalu dini atau melewatkan dosis bisa membiarkan bakteri yang masih hidup untuk menjadi resisten terhadap obat-obatan, yang mengarah ke infeksi yang jauh lebih berbahaya dan sulit untuk diobati.

Akupun menceritakan kisah penderita lain. Bukan maksud menakuti, tapi inilah faktanya. “Ada sebuah cerita, temannya Ummi saya yang mengalaminya. Ia sudah meminum obat TBC sampai empat bulan. Di bulan keempat, ia merasa batuknya sudah tidak ada lagi. Dan berat badannya sudah naik. Ia merasa sudah sehat, Nak. Lalu, ia berhenti meminum obat di bulan keempat. Kamu tahu apa yang terjadi? Di bulan kelima, kesehatannya langsung menurun. Bulan keenam, kukunya sampai membiru. Inalilahi wainailahi rajiun, bulan ke tujuh, ia pulang ke rahmatullah.”

“Jadi kuncinya, adalah disiplin meminum obat, makan dengan teratur, dan juga minum susu kambing lho. Nah, ini ada susu kambing buat Amy. Diminum ya My, tiga kali sehari. Susu kambing ini bagus sekali buat paru-paru kita,” kataku sambil menyerahkan sekotak susu kambing untuk Amy.

“Amy positif mengidap TBC. Kalian sudah tahukan ya dari Ustadzah Rona?” tanyaku memastikan kepada sembilan santri Aliyah.

“Ia sudah tahu, Bu,” ungkap mereka sedih.


Baca juga: TBC Membuat Skenario Hidupku Semakin Indah

“Saat Allah menakdirkan kita untuk sakit, pasti ada alasan tertentu yang menjadi penyebab itu semua. Tidak mungkin Allah melakukan sesuatu tanpa sebab yang mendahuluinya atau tanpa hikmah di balik semua itu. Allah pasti menyimpan hikmah di balik setiap sakit yang kita alami. Allah telah mempersiapkan skenario indah-Nya untuk kalian semua. Saya yakin itu! Sungguh, tidak layak bagi kamu semua untuk banyak mengeluh, menggerutu, apalagi su’udzhan kepada Allah. Na’udzu billah…” jelasku.

“Oleh karena itu, saya ingin kalian membantu Amy! Siapapun yang membantu orang yang sakit, membesarkan hatinya, dan mendukung ia untuk segera sehat, InsyaAllah Allah akan memberikan pahala untuk kalian semua, wallahu a’lam.”

“Mulai dari siapa yang mau mengambilkan Amy makanan, mengisi tumblr-nya, membuatkan Amy susu kambing, sampai mengingatkan Amy untuk makan. Wah kalau bisa omelin saja, kalau Amy tidak mau makan ya!”

“Kami siap Bu! Kami akan bergantian untuk merawat Amy,” ucap mereka serempak.

“Oia, ini ada satu kotak masker. Karena kalian masih satu kamar, maka Amy kemana-mana harus menggunakan masker ya. Kamu sayang dengan teman-temanmu kan? Maka, Amy juga harus menjaga mereka untuk tetap sehat!” perintahku sambil menyerahkan kepada Amy satu kotak masker.

***

Aku langsung menelpon Ummiku yang ada di Jakarta, untuk mau mengirimkan 10 kotak susu kambing. Santriku, Amy harus rutin meminum susu kambing dan juga meminum obat TBC-nya.

Namun, sayang setelah susunya sampai di pondok, Amy sudah kembali ke Ambon. Demi menjaga kesehatannya dan juga kesehatan santri lain, maka Amy diputuskan untuk menjalani pengobatan di kampung halamannya. Alhamdulilah, ibu angkat Amy mau mengirimkan susu kambing ke Ambon.

Empat hari kemudian, Ustadzah Rona memberi tahu saya bahwa santri lain yang sekamar dengan Amy juga harus diperiksa toraksnya. Akhirnya mereka semua pergi ke Rumah Sakit dan menunggu giliran satu persatu melakukan rontgen.

Keesokan harinya, rontgen sudah bisa dilihat. Setelah itu, darah mereka di ambil sempelnya. Tidak lama kemudian, hasilpun diketahui. Seperti di sambar petir! Inalilahi, Aku tidak menyangka! Tiga santriku lainnya juga positif mengidap TBC. Anti, Reyna, dan Masni, namanya.

Mereka bertiga juga dipulangkan ke Ambon. Kelas Aliyah yang tadinya ada 10 santri, kini hanya tersisa enam santri.

“Jaga amanah sehat ini ya, Nak!” ucapku kepada santri-santriku yang tersisa.


Sisa enam santri. Satu santri lagi yang memfoto.

***

Skenario Allah berlanjut. Aku harus memutar memoriku, memori perjuangan melawan TBC. Kini, santri-santriku lah yang harus berjuang juga. Aku sedih sekali. Hati ini hancur, karena orang-orang terdekatku juga mengidap penyakit yang sama sepertiku dulu. Aku paham betul rasanya dan perjuangannya. Aku menuliskan surat untuk keempat santriku yang sudah berada di Ambon.


Assalammua’laikum Wr.Wb. 
Dear, Amy, Anti, Reyna, dan Masni. Santri-santriku yang dimuliakan oleh Allah.
Kita memang baru berkenalan selama empat bulan. Aku gurumu, dan kamu muridku. Namun, izinkan aku menganggap kamu sebagai anak-anakku. Sabar adalah kuncinya. Allahlah penentunya. Kita hanya bisa berdoa, berdoa, dan berdoa kepada Allah. ‘Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas’ (QS. Az-Zumar: 10),” 
Kalau kita sakit, kita harus bersyukur kepada Allah. Karena sakitpun adalah sebuah keistimewaan. Tapi, jangan berharap sakit ya! Allah tidak suka kepada hambanya yang patah semangat! Justru, Allah menyukai hambanya yang mau berjuang. Dosa orang-orang yang sedang diberi ujian sakit, akan dicuci. Diampuni, jika ia mau bersabar. Aamiin… 
Relakan saja ya, Nak! Relakan karena kamu harus sementara berpisah dengan guru-gurumu dan dengan sahabat-sahabatmu. Ini demi kebaikanmu juga. Kami di sini akan selalu mendoakan yang terbaik untukmu. Ingat pesan saya, disiplin minum obat, minum susu, makan yang teratur, dan selalu minta ampun sama Allah. Segera sehat ya! Dan kembali lagi ke sini, kita belajar fisika bersama lagi.


Guru Fisikamu,

2 Cuap Cuap

Write Cuap Cuap
Rabu, Maret 16, 2016 delete

Giiii :')
Gw yg bronkhitis aja rasanya beraaaaaat bgt full obat sebulan :'(
Kalian kuat..

Syafakillah untuk murid2mu ya!

Gia juga di sana, jaga kesehatan!

Reply
avatar
Unknown
AUTHOR
Rabu, Maret 16, 2016 delete

Jujur, saya tersentuh. Kak Gia, salam untuk murid2nya, syafakillah.


:')

Reply
avatar

Terima kasih telah berkunjung. Yuk tinggalkan jejakmu!