Apersepsi: Kunci Agar Kelas Semakin Diminati Part II

Selasa, Oktober 25, 2016 1 Comments A+ a-


Hi, teman-teman pendidik di seluruh Indonesia! Pada kesempatan kali ini, saya ingin berbagai tulisan serial pendidikan yang InsyaAllah akan terbit setiap hari Sabtu. Semoga bermanfaat!

Salam Inspirasi Pendidikan!


Minggu lalu, kita sudah sama-sama belajar tentang apa itu apersepsi dan filosofi mendasar dari Teori Apersepsi. Pada tulisan part II kali ini, kita akan sama-sama belajar tentang tahapan-tahapan apersepsi. Ingat, strategi sebagus apapun yang sudah kita rancang untuk proses pembelajaran di kelas, tidak akan berhasil sama sekali, jika teman-teman pendidik tidak memberikan apersepsi di awal pembelajaran. Betapa pentingnya adanya seni apersepsi sebagai sesuatu hal yang wajib diberikan kepada siswa-siswi kita.

Mengondisikan Siswa Masuk ke Alpha Zone

Willian James, seorang psikolog, pernah membahas dalam tulisannya, bahwa apersepsi sebagai ide terpenting dalam psikologi pendidikan. Lebih lanjut lagi, Willian James juga memaparkan tentang apersepsi, yaitu “the act of taking a thing into the mind”, atau bahasa yang paling mudah dipahami atas pengertian itu adalah pengondisian. Pengondisian yang dimaksud adalah mengondisikan otak siswa-siswi ke dalam kondisi alfa, yaitu sebuah kondisi yang tepat untuk belajar.

Ada empat macam gelombang otak manusia. Teman-teman pendidik harus memahami benar tentang hal ini. Yang pertama adalah gelombang delta (0,5 – 3,5 Hz), yaitu kondisi seseorang yang tidur tanpa mimpi. Tentu, tidak akan mungkin jika teman-teman pendidik memberikan materi kepada siswa yang sedang nyaman tidur di kelas.

Kedua, adalah gelombang teta (3,5 – 7 Hz), yaitu kondisi tidur dan bermimpi. Jadi, kalau teman-teman pendidik sedang mengajar, belum tentu siswa-siswi juga sedang belajar atau menyimak materi yang kita berikan. Terkadang, siswa-siswi sedang masuk dalam kondisi teta, yaitu melamun, mengantuk, dan akhirnya tertidur di balik buku catatannya.

Ketiga, adalah gelombang alfa (7 – 13 Hz), yaitu kondisi relaks tapi waspada. Kondisi alfa adalah kondisi yang tepat untuk belajar. Keempat, adalah gelombang beta (13 – 25 Hz). Di kelas, kondisi beta ditandai oleh para siswa yang asyik mengobrol, tidak memberikan perhatian kepada guru, siswa yang sedang berkelahi, menunjukkan mimik sedang marah, dan sebagainya. Jika dalam kelas teman-teman pendidik kondisinya seperti ini, sebaik apapun kita mengajar, otomatis semuanya tak akan berhasil.

Tugas kita sebagai pendidik wajib mengembalikan siswa-siswi kita ke kondisi alfa. Karena sebagus apapun strategi yang kita rencanakan, percayalah siswa-siswi kita tidak akan siap menerima materi yang kita berikan, jika mereka masih berada dalam kondisi teta atau bahkan delta. Lalu, bagaimana cara mengatasinya?

Ada beberapa stimulus khusus yang dapat digunakan oleh teman-teman pendidik sebagai senjata untuk mengembalikan siswa-siswi ke kondisi alfa mereka. Stimulus khusus pada awal pembelajaran bertujuan untuk meraih perhatian dari para siswa. Stimulus khusus yang dapat diberikan, diantaranya fun story, music, ice breaking, dan brain gym. Stimulus-stimulus khusus tersebut dapat teman-teman pendidik temukan di internet, atau berdasarkan pengalaman pribadi. Ingat, stimulus khusus ini tidak usah berhubungan dengan materi yang akan diberikan.

Apabila teman-teman pendidik sudah melihat keceriaan siswa, senyumnya, bahkan tertawanya, berarti teman-teman telah berhasil mengondisikan siswa-siswi masuk ke dalam alpha zone mereka.

Warmer, Jangan Sampai Membuat Siswa Merasa Tertekan


Setelah teman-teman pendidik berhasil membawa kondisi siswa ke alpha zone mereka, maka tugas kita selanjutnya adalah wajib adanya tahap warmer. Tahap warmer ini bisa dilakukan oleh teman-teman pendidik pada pertemuan kedua, ketiga, dan seterusnya. Warmer adalah aktivitas pengulangan materi yang telah diajarkan oleh teman-teman pendidik pada pertemuan sebelumnya.

“Minggu lalu, kita sudah belajar tentang Gaya Berat. Sekarang Ibu ingin bertanya, apa perbedaan berat dan massa? Silakan, Ulfa yang menjawab!”

Pernahkan diantara teman-teman pendidik yang melakukan tahap warmer dengan memberikan pertanyaan, lalu menyebut salah satu nama siswa? Maka, siswa yang telah disebut namanya wajib menjawab pertanyaan tentang materi sebelumnya. Mungkin, jika teman-teman pendidik flash back, bagaimana perasaan siswa-siswi yang mendapatkan kewajiban menjawab pertanyaan tersebut? Syukur, bisa menjawab dengan benar. Jika menjawab dengan salah, bagaimana perasaannya?

Pada tahap warmer ini, teman-teman pendidik dapat merancangnya menjadi lebih menyenangkan. Ya, memang sedikit membutuhkan kreativitas atau mungkin modal dalam pembuatannya. Yaitu, dengan cara membuat games pertanyaan atau memberikan lembar penilaian diri. Bentuknya bisa macam-macam, seperti pertanyaan berantai, mencocokkan pertanyaan dan jawaban, dan sebagainya.

Salah satu games pertanyaan yang pernah saya terapkan adalah games “Bola Anti Gravitasi.” Saya hanya perlu menyiapkan sebuah bola plastik dan musik instrumental. Ketika games dimulai, musik dinyalakan, agar suasana kelas menyenangkan. Siswa-siswi berbaur di dalam kelas. Lemparan boa pertama, guru memberikan pertanyaan tentang materi sebelumnya ke salah satu siswa. Lalu, siswa itu menjawab. Selanjutnya siswa tersebut melempar bola ke siswa lain, setelah bola dilempar, siswa tersebut harus memberikan sebuah pertanyaan ke siswa yang berhasil menangkap bola. Kalau bolanya jatuh, pelempar bola akan mendapatkan hukuman. Hukumannya adalah diberikan pertanyaan dari guru. Games ini saya batasi selama 7 menit saja, jangan sampai terlalu lama, karena saya harus segera masuk ke materi inti.

Games “Bola Anti Gravitasi” adalah salah satu games tahap warmer yang cukup ampuh membuat siswa-siswi tidak merasa tegang. Bagaimana caranya, teman-teman pendidik harus membuat suasana yang menyenangkan ketika aktivitas pengulangan materi. Ingat, jangan sampai membuat mereka merasa tegang. Selamat berkreativitas!

Pre-Teach

Aktivitas yang harus dilakukan sebelum aktivitas inti pembelajaran disebut Pre-Teach. Contohnya adalah memberikan penjelasan awal tentang cara menggunakan peralatan di laboratorium dan penjelasan awal tentang alur diskusi. Biasanya, jika tidak dilakukan pre-teach, proses belajar akan menjadi terganggu. Namun, pre-teach tidak harus selalu ada dalam setiap kali pertemuan karena sangat bergantung pada kebutuhan yang berkaitan dengan materi dan strategi pembelajaran yang akan diberikan.

Scene Setting, Membutuhkan Kreativitas Tinggi dari Pendidik

Teman-teman pendidik, berusahalah sekuat tenaga untuk menggunakan scene setting pada saat pemberian awal materi. Ketika mengajar, jangan sekali-kali langsung masuk ke materi, tanpa adanya tahap ini.

Scene Setting adalah aktivitas yang dilakukan oleh teman-teman pendidik atau siswa untuk membangun konsep awal pembelajaran. Ada beberapa fungsi dari scene setting, diantaranya membangun konsep pembelajaran yang akan diberikan, sebagai pemberian pengalaman belajar sebelum masuk ke materi inti, sebagai pereduksi instruksi, dan sebagai pembangkit minat siswa dan rasa penasarannya.

Pola scene setting yang biasanya digunakan diantaranya, bercerita, visualisasi, simulasi, ataupun pantomim. Dan pola ini, tidak hanya dapat dilakukan oleh teman-teman pendidik saja, tapi bisa juga melibatkan siswa. Tentu, masih banyak lagi pola-pola scene setting yang dapat teman-teman pendidik rancang sesuai kreativitas yang dimiliki.

Teman-teman pendidik sebelum melakukan tahap scene setting terlebih dahulu harus mengetahui beberapa ketentuan. Pertama, teman-teman pendidik harus sudah merancang startegi pembelajaran terlebih dahulu. Kedua, tidak boleh mengahabiskan banyak waktu. Ketiga, tahap ini harus berhubungan dengan strategi pembelajaran inti yang akan dilakukan. Dan yang terpenting adalah tahap ini sangat membutuhkan kreativitas yang tinggi.
“Hak mengajar itu ada di tangan siswa, bukan di tangan guru. Apabila, siswa rela memberikan hak mengajar tersebut kepada seorang guru, guru tersebut pasti akan diterima oleh siswanya ketika proses belajar berlangsung. Hak mengajar harus direbut oleh guru. Guru harus pro-aktif untuk memperoleh hak tersebut. Caranya adalah dengan menggunakan apersepsi.” –Munif Chatib.

Sumber:

Chatib, Munif. 2011. Gurunya Manusia. Kaifa: Bandung

Apersepsi: Kunci Agar Kelas Semakin Diminati Part I

Selasa, Oktober 25, 2016 1 Comments A+ a-


Hi, teman-teman pendidik di seluruh Indonesia! Pada kesempatan kali ini, saya ingin berbagai tulisan serial pendidikan yang InsyaAllah akan terbit setiap hari Sabtu. Semoga bermanfaat!

Pendidik itu ibarat sebuah teko. Jika ia tak berisi, maka bagaimana mungkin ia bisa mengisi?

Salam Inspirasi Pendidikan!
Apersepsi adalah sesuatu hal yang sudah tidak asing lagi di telinga teman-teman pendidik ataupun mahasiswa pendidikan alias para calon pendidik masa depan. Apersepsi, mungkin saja juga sudah dipraktikkan di dalam kelas masing-masing. Tapi, sudah tahukah konsep secara utuh tentang apersepsi?

Berdasarkan survei International PISA (The Programme International for Student Assesment) tahun 2012, Indonesia berada di peringkat kedua terbawah. Ya, peringkat ke 64 dari 65 negara atas hasil survei kemampuan akademik siswa-siswi Indonesia pada bidang Matematika, Membaca, dan Sains.

Lalu, sebenarnya siapakah yang salah? Siswa-siswi kita atau para pendidiknya?

Baiklah, jangan saling menyalahkan untuk kasus ini. Sebaiknya, kita sebagai pendidik ataupun calon pendidik harus selalu instropeksi diri, sebenarnya apa yang terjadi di dalam kelas kita selama proses pembelajaran berlangsung? Sudahkah, teman-teman pendidik membuat kondisi kelas yang nyaman ketika proses pembelajaran berlangsung? Adakah siswa-siswi dari teman-teman pendidik yang merasa tertekan ketika sedang belajar di dalam kelas? Atau pernahkah, teman-teman pendidik tidak mendapatkan perhatian sama sekali dari kebanyakan siswa ketika sedang mengajar? Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini, kita akan sama-sama belajar bagaimana caranya merancang apersepsi sebagai kunci agar kelas semakin diminati oleh siswa.

Ada dua kisah tentang cara mengajar dua guru fisika di kelas VIII SMP. Kisah yang pertama, guru tersebut masuk kelas, memberi salam, mengecek kebersihan kelas, dan mengecek daftar hadir siswanya. Lalu, kemudian guru tersebut memberikan instruksi, “Ayo, anak-anak silakan buka bukunya halaman 34. Hari ini, kita mau belajar tentang Gaya Gesek Udara. Tapi, kalian cobain dulu mengerjakan soal nomor 5 dan 6 ya! Yang bisa menjawab, langsung aja maju dan tulis jawabannya di papan tulis!”

Bisakah teman-teman pendidik bayangkan, bagaimana reaksi atau respon dari siswa-siswi yang sedang belajar fisika tersebut? Biasanya guru seperti ini tidak disukai dan tidak diminati oleh para siswa.

Kisah yang kedua, seorang guru fisika masuk kelas, memberi salam, mengecek kebersihan kelas, dan mengecek daftar hadir siswanya. Lalu, guru tersebut berusaha untuk menarik perhatian semua siswanya, dengan memberikan instruksi, “Anak-anak di tangan kanan ibu sudah ada buku yang sangat tebal. Di tangan kiri ibu, ada selembar kertas. Ibu akan jatuhkan secara bersamaan pada ketinggian yang sama. Hayo, menurutmu, mana ya yang paling cepat sampai ke bawah?”

Pada kisah yang kedua, guru fisika tersebut berusaha merebut perhatian siswa terlebih dahulu dengan cara membawa teaching aids. Lalu, guru tersebut memancing rasa penasaran semua siswa-siswanya tentang materi gaya gesek udara. Guru tersebut bertanya, mengapa buku yang duluan jatuh, apa penyebabnya, dan lain-lain. Semua siswa asyik belajar bersama dengan guru fisika tersebut, karena guru tersebut berhasil mendapatkan perhatian dan berhasil memacing rasa penasaran siswa-siswanya. Unsur rasa penasaran ini baik sekali untuk memulai pembelajaran.

Guru mana yang dapat diterima oleh siswa? Tentu, jawabannya adalah guru yang kedua. Apa bedanya dengan guru yang pertama? Jawabannya adalah guru yang kedua menggunakan apersepsi untuk siswanya, sedangkan guru yang pertama sama sekali tidak menggunakan apersepsi di awal pembelajaran.

Jadi, apersepsi ternyata berpengaruh sangat besar dalam proses belajar mengajar. Apersepsi sangat dibutuhkan dalam proses pembelajaran dan juga kemampuan pedagogik seorang pendidik.
Kesan Pertama Sangat Penting Sekali
“Menit-menit pertama dalam proses belajar adalah waktu yang terpenting untu satu jam pembelajaran selanjutnya.” –Munif Chatib

Jika teman-teman pendidik mampu menghadirkan nuansa yang penuh kenyamanan saat memulai pembelajaran di kelas, maka sudah bisa dipastikan menit-menit berikutnya akan menjadi milik teman-teman pendidik semua.

Kesan pertama dalam istilah pedagogik disebut apersepsi. Apersepsi adalah momentum penting yang sangat berharga di awal pembelajaran berlangsung. Inilah tugas terberat teman-teman pendidik, karena kita harus mempersiapkan dengan sebaik-baiknya.

Perlu teman-teman pendidik ketahui, apersepsi tidak sebatas mengecek kehadiran siswa, lalu memberikan tugas saja. Tapi, lebih dari itu! Apersepsi merupakan sebuah seni menarik perhatian siswa-siswi di awal proses pembelajaran, agar siswa-siswi merasa tertarik, antusias, dan terpacu semangatnya untuk mengikuti proses pembelajaran sampai akhir.

Teori Apersepsi dan Filosofi Mendasarnya

Teori Apersepsi pertama kali dikenalkan oleh Johan Freidrich Herbart (1776-1841). Herbart berasal dari Jerman. Ia adalah seorang psikolog, filsuf, dan juga seorang pakar pendidikan. Hasil pemikirannya yang ia kembangkan dari masalah-masalah yang terjadi dalam pendidikan, dikenal dengan nama Teori Apersepsi atau Teori Herbatisme.

Filosofi mendasar pandangan Herbart tentang Teori Apersepsi mengatakan bahwa manusia adalah mahluk pembelajar. Sifat dasar manusia adalah memerintah dirinya sendiri, lalu melakukan reaksi atau berekasi terhadap instruksi yang berasal dari lingkungannya, jika dia dibekali oleh dorongan atau rangsangan (stimulus khusus).

Sejatinya, manusia adalah mahluk pembelajar. Saya pernah menemukan seorang anak berumur 10 tahun yang selalu mengintip dari balik jendela kelas. Setelah saya terlusuri, ternyata anak tersebut tidak bersekolah karena harus membantu kedua orang tuanya bekerja. Di hari-hari selanjutnya, untuk kesekian kalinya saya menemukan anak tersebut yang sedang mengintip dari balik jendela kelas. Setelah saya tanya kepada anak itu, saya mendapatkan jawaban yang begitu menggetarkan hati. “Ibu, sebenarnya saya ingin sekali bisa bersekolah seperti teman-teman yang lain.” Dari pengalaman ini membuktikan kepada saya bahwa anak tersebut adalah individu yang sesungguhnya mempunyai keinginan yang kuat untuk belajar.

Di lain kisah, saya pernah mendapatkan keluhan seorang guru tentang kesulitannya mengatur siswa-siswinya ketika proses pembelajaran di kelas. Ketika guru tersebut memberikan instruksi, tapi siswa-siswinya tidak mengerjakan instruksi itu. Apa yang terjadi? Mengapa instruksi seorang guru tidak dikerjakan oleh siswanya?

Secara alamiah, manusia punya kemampuan memerintahkan kepada dirinya sendiri untuk melakukan sesuatu ataupun tidak melakukan sesuatu. Dan keputusan itu semua, berasal dari rangsangan dan kualitas informasi yang masuk ke dalam otaknya. Lalu, otaknya memproses dan memberikan reaksi. Dari reaksi tersebut, perintanya ada dua, yaitu melakukan atau tidak melakukan. Jadi, teman-teman pendidik jangan langsung mengecap bahwa siswa yang tidak mau mengerjakan instruksi guru berarti dianggap nakal atau punya hambatan belajar. Padahal, kualitas informasi yang kita berikan itulah yang menjadikan siswa mau atau tidak mau melakukan instruksi sebagai reaksinya.

Instruksi yang teman-teman pendidik berikan, juga tidak boleh sembarang. Ada seninya juga. Instruksi yang dibekali dengan dorongan (stimulus) khusus akan jauh lebih berdampak besar dibandingkan sekadar instruksi. Semoga dengan bagusnya kualitas informasi dan instruksi yang dibekali dengan dorongan (stimulus) khusus yang teman-teman pendidik berikan kepada siswa-siswi dapat membangkitkan rasa ingin tahu yang ada dalam dirinya sendiri.

Dalam proses pembelajaran, ada dua tahap besar, yaitu apersepsi dan strategi. Pada proses apersepsi ada beberapa tahap, diantaranya Alpha Zone, Warmer, Pre-teach, Scene Setting. Tahap-tahap ini akan saya kupas tuntas di tulisan selanjutnya. Nantikan ya!

Sumber:

Chatib, Munif. 2011. Gurunya Manusia. Kaifa: Bandung