Apa yang Dilakukan Anak-anak Buruh Migran di Serawak Malaysia saat HUT RI?

Rabu, Agustus 17, 2016 0 Comments A+ a-

Pikiran saya menyisir jauh memutar roda waktu satu tahun yang lalu, tapat di hari ini. Di tanah damai penuh keceriaan gelak tawa anak-anak buruh migran berdarah asli Indonesia yang ikut menyemarakkan ulang tahun negaranya. Pohon-pohon kelapa sawit pun turut merasakan kekhidmatan itu.

“Hari merdeka, nusa dan bangsa. Hari lahirnya bangsa Indonesia. Merdeka!” nyanyi mereka dengan sorak sorai saat menuju ke sekolah sambil membawa bendera merah putih kebanggaannya.

Baca juga: HUT RI Bersama Anak-anak Buruh Migran

Pagi itu, saya dan beberapa relawan pengajar sudah bersiap dengan pakaian batik terbaik kami khusus untuk digunakan saat Upacara RI bersama buruh migran Indonesia dan anak-anaknya. Pagi itu cukup cerah dengan senyum antusias seluruh warga Galasah. Mulai dari bapak-bapak dan ibu-ibu yang sibuk menunggu kesiapan acara sakral itu sampai anak-anak yang cukup sulit sekali diatur untuk berbaris yang rapi.

Tempatnya memang bukan di lapangan terbuka nan luas. Tempatnya hanya di sebuah ruangan persegi yang biasa digunakan anak-anak untuk menimba ilmu. Ya, kami upacara di dalam ruang kelas. Beruntung, saya berada di dalamnya bersama anak-anak. Sedangkan, bapak-bapak dan ibu-ibu warga Galasah antusias berebutan mengintip dari balik jendela untuk menyaksikan anak-anaknya melakukan upacara RI 70. Sungguh, saat itu terbayar sudah peluh kami melatih anak-anak sebagai petugas upacara dan melatih menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia.

Satu hari sebelumnya, kami disibukkan dengan menghias ruang kelas. Tentu warna merah putihlah kebanggan kami. Ruang kelas pun disulap dengan sangat meriah. Meja dan kursi digeser ke pojok kelas, agar ada ruang yang cukup untuk anak-anak dari TK sampai Kelas 6 SD berbaris di dalamnya.

17 Agustus pun tiba. Khairil, kelas 4 SD, yang memimpin kami semua untuk melaksanakan upacara RI 70 nan khidmat pada pagi itu. Benar-benar kenikmatan yang sungguh luar biasa bagi saya saat semua orang bernyanyi “Indonesia Raya”. Hal itu semakin membuat saya semakin jatuh cinta dengan Indonesia.

Anak-anak buruh migran memang tidak terlalu mengenal Indonesianya, ya kerena mereka lahir dan tumbuh di negeri jiran, Serawak. Mereka hanya sebatas lancar menyanyikan lagu Indonesia Raya, cukup tahu beberapa lagu kebangsaan seperti lagu “Hari Merdeka (17 Agustus)”, dan mengetahui bentuk negara Indonesia dari Peta yang dipajang di dinding kelas. Tapi percayalah, di dada mereka ada rasa cinta dan keingintahuan yang sangat besar terhadap Indonesianya.

“Cikgu, mengapa lambang Indonesia Burung Garuda?”

“Cikgu, seberapa tinggi monas itu?”

“Siapa presiden kita yang sekarang, Cikgu?”

“Bagaimana bentuk uang Rupiah? Aku ingin memilikinya, Cikgu!”



Masihkah kamu kurang bersyukur bisa merasakan kenikmatan upacara di lapangan nan luas tanpa harus bersempit-sempitan melakukan upacara di ruang kelas? Masikah kamu tidak merasakan kekhidmatan menyanyikan lagu Indonesia Raya? Apakah air matamu berlinang saat lagu Indonesia Raya dinyanyikan olehmu dan orang-orang sekelilingmu?

Mari bersykur atas semua karunia kemerdekaan ini, wahai kawanku!

Air mata saya dan air mata orang-orang di sekeliling saya tidak terbendung. Hati ini bergetar hebat. Mereka sungguh terlarut dengan kenikmatan menyanyikan lagu Indonesia Raya seraya memberi hormat kepada bendera merah putih di depan kami. Ah, tak usah bertanya bagaimana caranya bendera bisa kami kibarkan di dalam ruang kelas. 

“Di sanalah aku berdiri jadi pandu ibuku. Indonesia kebangsaanku, bangsa dan tanah airku. Marilah kita berseru Indonesia bersatu.” Nyanyian dengan nada sesenggukan oleh peserta upacara RI 70. Seraya dengan lantunannya, banyak buruh migran Indonesia yang merasa rindu untuk tinggal kembali di kampung halaman mereka masing-masing.

Seandainya waktu bisa diputar kembali, hari ini saya ingin sekali merasakan kenikmatan upacara di sana, bersama adik-adik saya. Karena telah membuat perasaan ini membuncah betapa bersyukurnya saya bisa memaknai dengan hati yang bergetar saat upacara HUT RI berlangsung.


Keesokan harinya, anak-anak buruh migran kami beri kesempatan untuk merayakan tradisi yang biasa dilakukan di Indonesia. Yaitu, lomba 17 Agustusan. Mulai dari berlari ambil bendera sampai balap karung. Ah, yang penting semua bersuka cita atas perayaan ulang tahun Indonesianya. Dan tak hanya bersuka cita, mereka pun turut mendoakan Indonesia agar menjadi lebih baik lagi, walau menginjak tanahnya saja belum pernah. Semangat kemerdekaan itu masih ada!

Terima kasih untuk kesempatan berharganya! Kesempatan untuk bisa menyaksikan langsung betapa tulusnya hatimu kepada Indonesia. Kembalilah, dan tumbuh bersama Indonesia, ya Nak!

Amanah Kelas Sumayyah

Jumat, Agustus 12, 2016 0 Comments A+ a-


Suatu ketika, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyaksikan keluarga muslim tersebut yang tengah disiksa dengan kejam, maka beliau menengadahkan ke langit dan berseru,

“Bersabarlah, wahai keluarga Yasir, karena sesungguhnya tempat kembali kalian adalah surga.”

Sumayyah binti Khayyat mendengar seruan Rasululla, maka beliau bertambah tegar dan optimis. Dengan kewibawaan imannya, dia mengulang-ulang dengan berani, “Aku bersaksi bahwa engkau adalah Rasulullah dan aku bersaksi bahwa janjimu adalah benar.”

Begitulah, Sumayyah binti Khayyat telah merasakan kelezatan dan manisnya iman sehingga bagi beliau kematian adalah sesuatu yang remeh dalam rangka memperjuangkan akidahnya. Hatinya telah dipenuhi kebesaran Allah subhanahu wa ta’ala, maka dia menganggap kecil setiap siksaan yang dilakukan oleh para tagut yang zalim; mereka tidak kuasa menggeser keimanan dan keyakinannya, sekalipun hanya satu langkah semut.

Sementara Yasir telah mengambil keputusan sebagaimana yang dia lihat dan dia dengar dari istrinya, Sumayyah binti Khayyat pun telah mematrikan dalam dirinya untuk bersama-sama dengan suaminya meraih kesuksesan yang telah dijanjikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Tatkala para tagut telah berputus asa mendengar ucapan yang senantiasa diulang-ulang oleh Sumayyah binti Khayyat maka musuh Allah Abu Jahal melampiaskan keberangannya kepada Sumayyah dengan menusukkan sangkur yang berada dalam genggamannya kepada Sumayyah binti Khayyat. Terbanglah nyawa beliau dari raganya yang beriman dan suci bersih. 


Sumber: KisahMuslim.com

***

Saat Rapat Kerja Guru (sebelum kegiatan belajar dimulai), aku telah diamanahkan untuk menjadi wali kelas IX Putri, yang hanya terdiri depalan santri. Mereka adalah, Pipet, Tepu, Ririn, Reyna, Sulis, Arwa, Aminah, dan Tri. Empat santri dari Ambon, sisanya dari Serang dan Lampung.

Menjadi wali kelas, menurutku ini amanah yang tidaklah mudah. Mulai dari mengontrol kebersihan kelas IX setiap hari sebelum belajar dimulai sampai mengisi rapor mereka di setiap akhir semester. Oia, mereka memanggilku Ibu Gia. Semoga saja dengan diberikannya amanah ini kepadaku, aku bisa sekaligus belajar menjadi ibu bagi delapan santri-santriku.

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. (QS: Al-Anfaal ayat 27)


Jadi sebelum kegiatan belajar mengajar dimulai (pada hari Sabtu), hari Jumat ini agendanya bersih-bersih kelas. Yey!

Awalnya, kelas XI gak kebagian ruang kelas. Ruang kelas XI tempatnya di lantai 3 Masjid Aisyah, alias ruang rapat para guru. Alhasil yang seharusnya kita bersih-bersih kelas, tapi kita malah photo session deh.

Di hari Sabtu, Kelas XI diharuskan Tes Online Matrikulasi. Dan di hari itu juga, kita mendapatkan kabar yang menggembirakan, yaitu kelas XI mendapatkan kelas baru. Ya, kelas beneran, lengkap dengan kursi, meja, dan papan tulis. Alhamdulilah.

Nah, di hari Minggu-nya, ada agenda menghias kelas. Sebelum menghias kelas, ada beberapa hal yang harus disepakati bersama, diantaranya pemilihan nama kelas, penentuan struktur kelas, pembagian jadwal piket, dan penetapan peraturan kelas. Oia, gak lupa, agenda pada hari itu dimulai dengan bermain "Panen Permen" dan "Baris Klasifiskasi". Permainan itu untuk lebih mengenal di antara kita semua.

"Kelas XI Putri ingin dinamai apa ya? Clue-nya adalah sahabat Nabi yang perempuan."

Dengan sigap, Tepu langsung menyebutkan nama Sumayyah.

"Kenapa Sumayyah, Tepu?" tanyaku kepadanya.

"Ia bu, Sumayyah binti Khayyat adalah wanita pertama yang akan masuk surga. Beliau adalah wanita pertama yang syahid dalam Islam. Beliau gugur setelah memberikan contoh baik dan mulia bagi kita dalam hal keberanian dan keimanan, beliau telah mengerahkan segala yang beliau miliki dan menganggap remeh kematian dalam rangka memperjuangkan imannya. Beliau telah mengorbankan nyawanya yang mahal, dalam rangka meraih keridhaan Rabbnya. Mendermakan jiwa adalah puncak tertinggi dari kedermawanan," jelas Tepu.

Aku dan santri lainnya fokus mendengarkan penjelasan Tepu tentang Sumayyah.

"Ok, semua sepakat kalau nama kelas kita adalah Sumyyah?"

"Sepakaaaaat bu!" jawab mereka serempak.

Ya, gak perlu waktu lama untuk menentukan nama kelas XI. Alhamdulilah.

Selanjutnya adalah penentuan struktur kelas. Arwa terpilih menjadi ketua kelas, dan wakilnya adalah Reyna. Pemilihan ini berdasarkan hasil voting alias kesepakatan bersama. Dan sekali lagi, gak perlu waktu lama untuk menentukan struk kelas. Seneng deh!

Setelah semua agenda selesai untuk disepakati, saatnya menghias kelas.

Di hari Jumat lalu, aku sudah membelikan berbagai peralatan untuk menghias kelas, mulai dari karton sampai paku payung. Pokoknya lengkap deh.

Nah, yang mau aku bikin banget adalah "Mimpi Kita" yang nantinya dipajang di bagian belakang kelas. Tapi, sebelum membuat "Mimpi Kita" aku meminta mereka untuk foto satu persatu dengan background dinding di Masjid. Mereka bergaya seakan-akan tangan kiri sedang memegang payung dan tangan kanan sedang menarik suatu benda.

Setelah usai sesi foto satu persatu, saatnya menuju ruang kelas dan siap menghias kelas.



Aku menginstruksikan mereka untuk berbagi job. Tepu penanggung jawab Quotes, Sulis penanggung jawab Peraturan Kelas, Arwa penanggung jawab Tag line kelas "Kami Cerdan dan Siap Berprestasi", Aminah spesialis menggambar wajah, dan sisanya bagian ngelem dan menggunting. Alhamdulilah, kerja tim seperti ini bisa cepat selesai, hanya dalam waktu 4 jam saja.

Ini dia penampakkan bagian belakang kelas, Mimpi Kita.



Semoga amanah yang diberikan kepadaku ini bisa aku jalankan dengan baik. Dan semoga aku bisa mengantarkan mereka untuk meraih mimpi-mimpi mereka di tahun ini. Aamiin. Mereka santri-santriku, anak-anakku, sekaligus adik-adikku. Bismillah....


Salah Kaprah

Kamis, Agustus 04, 2016 1 Comments A+ a-


Banyak wali santri ataupun tamu yang sedang berkunjung ke tempat sekolahku mengajar yang salah kaprah denganku. Apa yang salah ya, wajahku atau penampilanku?

Kejadian pertama, saat Bulan Maret 2016. Saat itu sedang ada tamu ibu-ibu untuk menghadiri acara Go Green Penanaman 500 pohon di Ibad ArRahaman Islamic Boarding School. Saat ibu-ibu mau pulang dan menaiki mobil masing-masing, tentu kami para ustadzah berjajar menyalami mereka satu persatu.

Dan saat seorang ibu yang terakhir menyalamiku, dia bilang gini, "Belajar yang rajin yah, nak. Ibu pulang dulu, nanti kapan-kapan main lagi ke pondok."

"Lho bu, saya bukan santri Aliyah lho. Saya ini ustadzah," ucapku dalam hati sambil tergelitik dengan ucapan ibu itu.

Kejadian kedua, yaitu saat aku sedang shalat dzuhur di Masjid Aisyah. Kebetulan saat itu adalah hari pertama santri putri libur. Jadi, gak ada santri putri saat itu yang shalat di masjid. Kebetulan hanya aku dan Ustadzah Resti yang menunaikan shalat di sana.

Ternyata ada seorang ibu yang juga akan menunaikan shalat dzuhur. Ternyata, ia berniat untuk mendaftarkan anaknya untuk sekolah di sini.

Usai shalat, aku berusaha untuk menyapanya. Senyum, terus bersalaman dengannya. Tanpa aku duga, ibu itu malah memberikan tangannya untuk aku salim. Tapi aku menahannya, hihihi. Mungkin dia kaget.

Yasudah, aku jelaskan saja, "Maaf ibu, saya bukan santri. Saya ustadzah di sini."

Dan kejadian yang masih hangat, yaitu saat penerimaan santri baru datang ke pondok, tepatnya tanggl 23 - 24 Juli 2016. Semua wali santri pasti mengantarkan anaknya di hari pertama datang ke pondok.

Saat itu, aku ditempatkan di bagian Registrasi Putri. Tugasku adalah menyambut wali santri bersama anaknya datang, serta memastikan mereka untuk menuliskan jam kedatangan dan nomor handphone yang dapat dihubungi.

Cukup banyak wali santri yang salah kaprah lagi.


Ya, banyak yang mengira kalau aku adalah kakak kelas anaknya.

"Assalammua'laikum, Kak," kata seorang ibu wali santri sambil bersalaman denganku.

"Hayo nak, salim juga sama kakak kelasmu!" perintah ibu wali santri kepada anaknya untuk menyalami tanganku.

Aku jelaskan ke ibu wali santri, "Oh maaf ibu, saya ustadzah di sini. Saya yang akan mengajar mata pelajaran fisika, bu."

"Oh ya Allah, ustadzahnya masih muda-muda ya," ungkap ibu wali santri sambil senyam-senyum.

Mind set para orang tua mungkin heran mengapa masih semuda ini sudah menjadi seorang guru.

Bapak dan ibu wali santri, untuk menjadi seorang guru bukan masalah tua atau mudanya. Ya, memang guru yang sudah berumur lebih meyakinkan karena banyaknya jam terbang mengajarnya. Tapi, guru yang masih muda, justru bisa saja lebih update, dan yang pasti kami sebagai guru yang masih muda mempunyai semangat yang tinggi untuk mendidik serta terus meng-upgrade diri, insyaAllah.

Terima kasih bapak dan ibu wali santri Ibad ArRahman Islamic Boarding School yang sudah percaya bahwa aku adalah ustadzah untuk anak-anakmu.

FYI, ya memang pada kenyataannya semua ustadzah di Ibad ArRahman umurnya di bawah 27 tahun semua.