Aku Iri Sama Kalian!

Selasa, Maret 15, 2016 11 Comments A+ a-


Aku sedang mencoba mendidik calon-calon mujahid dan mujahida. Amanah yang tidaklah ringan. Santri-santriku ini luar biasa. Bangun sebelum subuh, tahajud, salat subuh, menyetor hapalan, makan pagi, sekolah, salat dzuhur, makan siang, istirahat, salat isya, menyetor hapalan, makan sore, salat maghrib, mengulang hapalan, salat isya, pendalaman materi UN atau mengerjakan tugas, tidur. Keren ya aktivitasnya? Coba kamu bayangkan, mereka calon hafidz dan hafidzah yang sedang dipersiapkan untuk menjadi pemimpin dunia! Beeeeehhhh sadaaaap! Ilmu dunia dan ilmu akhirat diajarkan di sini, di sebuah Islamic Boarding School di daerah Pandeglang.

Aku sedang memutar memori beberapa tahun silam, mungkin sekitar 10 tahun yang lalu. Saat aku seumuran dengan santri-santriku. Satu hal yang aku pikirkan, aku iri sama mereka. Sekali lagi ya, aku ulang, AKU IRI SAMA MEREKA!!!

Ya jelas iri. Iri karena mereka sudah menanamkan Al-Qur’an di dada mereka. Aku? Ah sudahlah. Saat itu aku hanya sibuk penasaraan dengan sebuah kitab milik agama lain. Menyesal jelas. Karena memori ini kembali berputar. Dan akupun berandai-andai. Seandainya saja, dulu bukan di Sekolah Khatolik. Seandainya saja, dulu aku sudah mulai bergegas menghapal Al-Qur’an, lalu mengamalkannya. Dan seandainya saja, dulu aku… ah sudahlah. Waktu jelas tak akan bisa kembali lagi.


***

Di suatu pagi yang cerah. Matahari sedang asyik mengamati kegiatan santri-santriku. Saat itu aku sedang bergegas memasuki salah satu ruang kelas. Belajar fisika saat itu. Bismillah…

Aku mulai membidik alpha zone mereka. Upss sayang, TV LCD di ruang kelas sedang dipindahkan sementara. Padahal, aku sudah menyiapkan sebuah video untuk mereka. Baiklah, aku ganti dengan bercerita.

Pikiranku melayang. Melayang mencoba menangkap sebuah memori lama. Memori yang mungkin saja bisa aku sajikan di hadapan mereka, santri-santriku.

“Saya iri sama kalian,” ucapku lantang di depan kelas. Seketika, santriku berpusat menatapku.

Aku ulangi sekali lagi dengan nada naik satu oktaf dan dengan artikulasi yang jelas, “Aku iri sama kalian!”

“Skenario Allah indah sekali lho, Nak! Dulu saya di Sekolah Khatolik, kini saya ada di depan kamu, di lingkungan pondok pesantren,” lanjutku.

Santri-santriku mulai menatapku dengan tatapan tajam. Entah apa yang mereka pikirkan saat itu. Salah seorang dari mereka menceletuk, “Sekolah Katholik bu? Ibu dulu sekolahnya di Sekolah Katholik?”

Aku sedang berusaha memutar memori itu kembali. Sejujurnya sedang berpikir, mana kisah yang akan aku bagi untuk mereka. Aku menarik napas… “Ya itu benar! Dulu saat saya seumur kalian. Saya bersekolah di Sekolah Katholik, 10 tahun yang lalu!”

“Tapi mengapa Ibu?” tanya salah seorang santri yang duduk di bagian pojok belakang.

Ok, aku telah berhasil membidik alpha zone mereka. Kadang, bidikan alpha zone-ku suka tidak tepat sasaran. Tapi itu gak sering terjadi kok. Di dunia kegiatan belajar mengajar, ada dua alpha zone, yaitu saat di awal pembelajaran dan juga saat di tengah pembelajaran. Di situlah, saat-saat terbaik untuk meraup perhatian dari mereka.

Aku mulai bercerita. Sengaja membuat mereka semakin penasaran. “Karena Ummi saya ingin anaknya keluar dari zona nyaman. Dulu saya mendapatkan sekolah negeri yang diidam-idamkan siswa lain lho, Nak! Namun, Ummi saya memutuskan untuk menyekolahkan saya di sebuah Sekolah Katholik.”

“Hanya demi sebuah visi, Nak. Ia ingin anaknya mendapatkan juara umum di Sekolah Katholik. Mungkin kalimat saya sedikit rasis. Di sana, banyak sekali murid-murid bermata sipit dan berkulit putih. Mereka itu luar biasa sekali otaknya. Pintar-pintar deh pokoknya! Disiplinnya juga tingkat tinggi! Ummi saya ingin agar saya membuktikan bahwa saya mampu mengalahkan mereka semua. Ya hanya sekadar sebuah pembuktian, yaitu mampu menjadi juara umum di Sekolah Katholik,” lanjutku menyelami memori itu.

“Loh, Ibu belajar agama Islam gak?” tanya salah seorang santri yang dari tadi sudah fokus mendengarkanku.

“Tidak, Nak. Saya belajar Agama Katholik,” jawabku.

“Makanya saya iri dengan kalian, karena bukan Al-Qur’an Al Karim yang saya pelajari, namun Kitab Injil yang dulu cukup sering saya buka. Sayang, isinya cukup sulit saya cerna,” lanjutku.

Rak Al-Qur'an di Masjid Nabawi

Sayapun akhirnya mulai membuka salah satu kisah yang paling membekas. “Emmm… saat Ujian Praktik Agama Katholik, saya punya sebuah memori yang cukup membekas sekali. Siswa diuji tentang bagaimana berdoa untuk perdamaian dunia. Kita satu persatu masuk ke dalam ruangan, dan berdoa di depan guru penguji. Saat itu guru pengujinya ya, guru agama Katholik saya.”

“Saya bertanya kepada guru saya, Ibu saya seorang muslim, saya harus berdoa versi Islam atau versi yang sudah ibu ajarkan? Lalu, guru saya menjawab, ikuti kata hatimu!” ceritaku meniru percakapan kala itu.

“Dan kamu tahu Nak, saya akhirnya memilih untuk berdoa versi Islam. Padahal berdoa versi Katholik pun sudah saya persiapkan lho! Langsung saja, saya mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi. Lalu menatap ke atas. Mulai dari baca Al-fatihah sampai doa sapu jagat. Lalu berdoa dalam Bahasa Indonesia tentang perdamaian dunia. Jujur, berdoanya memang agak berlebihan, nyaris seperti membaca puisi, hahaha,” kenangku.

Aku melanjutkan, “Apa yang terjadi? Guru saya matanya berkaca-kaca! Karena saya melihat mata guru saya, saya jadi ikutan berkaca-kaca dan mulai menitihkan air mata sambil berdoa. Dan akhirnya saya ternyata mendapatkan Ujian Praktik Agama Katholik paling tinggi, yaitu dengan nilai 98! Mungkin, karena guru saya itu menilai bahwa saya berdoa benar-benar dari hati.”

Mereka terdiam. Sepertinya terpukau. Entah terpukau, atau tidak habis pikir, mungkin.

“Ibu, saat bulan puasa bagaimana?” tanya salah seorang santri. Ia ingin menyelami memoriku yang lain.

“Puasa ya tetap puasa, Nak. Alhamdulilah, saya puasa satu harian lho, sampai maghrib, hehehe. Namun, yang berpuasa ya saya saja. Pernah suatu hari saat bulan puasa, ada seorang anak laki-laki, teman sekelas saya, ia sedang mencoba memasuki ruang kelas. Di ruang kelas ada saya yang sedang baca buku sambil menahan lapar dan haus sebenarnya. Anak laki-laki itu membawa Somay di tangan kirinya. Ia hanya ingin mengambil uang jajan di dalam ruang kelas. Namun sayang, ada seorang guru yang melihatnya. Anak laki-laki itu langsung dipukul kakinya, karena mencoba masuk ke dalam kelas. Guru saya marah sambil bilang, kamu tahu gak di dalam ruang kelas ada Gia yang sedang puasa!??” ceritaku tentang suasana ketika Bulan Puasa. Jadi, tidak boleh ada yang masuk ke dalam kelas jika membawa makanan ataupun minuman, jika didalamnya ada yang sedang berpuasa.


Baca juga: BERUNTUNG

Santri lainpun ikut menjadi semakin penasaran, ia bertanya, “Terus kalau Natal, Ibu ikutan gak?”

“Perayaannya tidak. Namun persiapannya ikutan kok. Kebetulan saya lumayan jago gambar. Jadi yang menghiasi back drop ya saya, koordinatornya. Itupun karena disuruh guru-guru,” jawabku.

Ada yang mengangkat tangan. Santriku bertanya lagi. Kali ini pertanyaannya cukup unik. "Ibu sering di-bully gak?"

Aku terdiam. Apa maksud pertanyaannya. "Di-bully? Buat apa? Karena saya paling berbeda? Oh tidak! Mereka tidak pernah mem-bully saya karena saya paling berbeda. Mungkin asalannya karena saya cukup berpengaruh di sana. Kalau teman-teman saya ada yang kesusahan mengerjakan tugas atau ada materi yang sulit dimengerti, mereka bergantian bertanya ataupun belajar bersama saya," jawabku dengan mudah.

“Lalu, bagaimana akhirnya? Apakah visi ibu berhasil?” tanya beberapa santri.

“Ya Alhamdulilah, berhasil Nak. Saya mendapatkan juara umum saat itu. Saat acara perpisahan kelas 9, semua orang tua hadir, kecuali Ummi saya. Murid-murid berprestasi dipanggil satu persatu untuk menaiki panggung dan menerima penghargaan. Mulai dari nilai UAS tertinggi per mata pelajaran, nilai Ujian Praktik tertinggi per mata pelajaran, sampai juara umum. Kamu tahu, saat nama saya dipanggil… Nama saya Sitti Ghaliyah, itu nama yang Islam banget kan yah? Nah ketika nama saya dipanggil, semua orang tua yang hadir saat itu, terheran-heran! Kok bisa ya? Mengapa bisa Sekolah Katholik, tapi yang mendapatkan juara umum adalah seorang siswi muslim?”

Salah seorang santri menyeletuk, “Tapi, apakah Umminya Ibu tidak hadir saat itu?”

“Bahkan mengambil rapor setiap semesternya saja tidak pernah, Nak! Jadi yang mengambil rapor saya adalah tukang sayur ataupun tukang ojeg yang diberi upah 30 ribu rupiah. Nah apalagi acara penganugrahan ini, tentu Ummi saya tidak akan datang. Saat itu saya ditemani tukang ojeg,” jawabku.

Bel sudah berbunyi. Tak terasa sekali. Alpha zone macam apa ini sampai menghabiskan satu jam pelajaran? Maaf, karena aku telah menyelami memori lama.

“Jadi sudah sepantasnya kamu bersyukur. Diumurmu yang masih muda, Al-Qur’an sedang ditanamkan di dadamu. Saya iri sama kalian! Doakan ya, agar iri ini menjadi pemicu untuk saya bisa memperjuangkan apa yang sedang kalian perjuangkan juga,” pungkasku.

AKU. IRI. SAMA. KALIAN.


"Sebenarnya, Al Quran itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zalim." (QS Al-Ankabuut 29 : 49)

11 Cuap Cuap

Write Cuap Cuap
Selasa, Maret 15, 2016 delete

Salah satu temen gw yang katolik taat, memutuskan kembali ke fitrahnya dgn jadi mualaf. Gak ada yg tau hidayah akan datang kapan dan dari mana. Kalo kata Tere Liye di buku Rembulan Tenggelam di Wajahmu, "Hidup kita akan bersinggungan dengan hidup orang lain. Apa yang kita lakukan, pasti akan berdampak buat orang lain.."

Selamat ustazah, kamu berhasil merebut momen terbaik. And i'm sure the won't forget your story. Ahahaha :D

Reply
avatar
Nana
AUTHOR
Selasa, Maret 15, 2016 delete

kenapa g di jelasin soal umminya g pernah kesekolah buat ambil raport :D ahhh seru kan

Reply
avatar
Dicky Renaldy
AUTHOR
Selasa, Maret 15, 2016 delete

Jadi ini beneran aku kira cuman fiksi...
Ah hidupnya seperti fiksi ya... Mendebarkan. Penuh ambisius

Kak gia di pesantren daerah Pandeglang? Jangan jangan yang tempat santri pria nya deket pasar pari, cikoneng, mandalawagi ya.....

Reply
avatar
Gia Ghaliyah
AUTHOR
Selasa, Maret 15, 2016 delete

Huaaah keren!
Teraktir aku dong masakan Padang :p

Reply
avatar
Gia Ghaliyah
AUTHOR
Selasa, Maret 15, 2016 delete

Sebenarnya karena doi males ngambil rapor :p

Reply
avatar
Gia Ghaliyah
AUTHOR
Selasa, Maret 15, 2016 delete

Iyaaaah beneraaaan -___-
Jadi hidupku kayak sinetron yak

Pandeglang, Cimanuk. Ituloh yang deket Batu Quran

Reply
avatar
Anonim
AUTHOR
Rabu, Maret 16, 2016 delete

Barakallah, suka banget sama tulisan kamu :) aku pun selalu iri dengan para santri

Reply
avatar
Unknown
AUTHOR
Rabu, Maret 16, 2016 delete

Kak Giaaa. Menginspirasi sekali. Dulu teman ku juga sama, sekolah di sekolah gitu, dy lebih disiplin dan memang ory nya rajin.
Mungkin itu salah satu kelebihan di sekolah-sekolah itu :))

Oh iya, utk yg tinggal di pesantren itu hampir sama kak kaya aku sekarang. Dulu baca quran kalo mood, sekarang tinggal di asrama bareng santri tahfidz, tiap saat tiada hari tanpa menghafal.

Semangat ngajar kak. Tetap menginspirasi :)))

Reply
avatar
Sabtu, Maret 26, 2016 delete

kak giaaa, asal dari pandeglang yaa ? kenal Lena sama denis gaak ? hehe

Reply
avatar
Gia Ghaliyah
AUTHOR
Sabtu, Maret 26, 2016 delete

Semangat menghapal, Surur!

Reply
avatar
Gia Ghaliyah
AUTHOR
Sabtu, Maret 26, 2016 delete

Aku asli Jakarta. Tapi memang lagi mengabdi di Pandeglang.
Lena kenal kok. Kenal di instagram hahaha.

Reply
avatar

Terima kasih telah berkunjung. Yuk tinggalkan jejakmu!