Allah Memberiku Hadiah Saat di Madinah

Minggu, Maret 13, 2016 10 Comments A+ a-


Thank you so much, my sister Wàšaq Ş. AL-hâřasës

Masih ingat dengan kisahku yang dulu pernah sekolah di Sekolah Khatolik? Sungguh, kisah itu bukan untuk aku banggakan, tatapi aku jadikan sebagai peringatan yang selalu ada hikmahnya.
Dulu aku memang belajar agama Khatolik. Jangan heran ya, nilai Ujian Praktik Agama Khatolikku mendapatkan nilai 98 lho! Suer, aku gak bangga sama sekali. Singkat cerita, aku cukup sering membuka Kitab Injil. Membacanya dan berusaha mengerti apa penjelasannya. Sayangnya, pikiranku sulit mencerna. 

Saking seringnya membuka Kitab Injil, aku jadi sempat melupakan kitab suciku sendiri, Al Qur’an Al Karim. Astagfirullah… Hal tersebut membuatku membuang banyak waktu untuk pandai membacanya, dan segera mengamalkannya. Sebenarnya sudah bisa baca Al-Qur’an plus paham sedikit tajwidnya, namun… Entah, tahsinku belum lancar saat itu. Ya, memang belum lancar! Makhorijul hurufnya itu loh. 

Q.S. Al Muzammil ayat 4: "Dan bacalah Al-Qur'an itu dengan tartil"


Tahsin secara harfiyah berasal dari 'hassana-yuhassinu' yang artinya 'membaguskan'. Kata ini sering digunakan sebagai padanan 'Tajwid' yang berasal dari 'jawwada-yujawwidu'. Karena itu, jumhur ulama kerap menyamakan pendefinisian tahsin itu dengan tajwid, yakni 'mengeluarkan setiap huruf hijaiyah sesuai tempat keluarnya (makhorijul huruf) dengan memberikan hak dan mustahaknya'. Dengan kata lain, metode Tahsin ialah metode untuk menyempurnakan semua hal yang berkaitan dengan kesempurnaan pengucapan huruf-huruf Al-Qur'an.


***

Sampai pada akhirnya, aku mengazamkan diri untuk segera belajar tahsin. Payahnya aku, niat itu baru terrealisasikan saat detik-detik sidang skripsi. Payah ya! Aku baru sadar, ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya. Dan kelak, anak-anakku harus pandai mengaji. Maka, ibunya pun harus jago banget ngajinya. Bismillah… belajar tahsinpun dimulai.

Awalnya sama kakak di departemen KOMINFO BEM UNJ. Satu, dua kali diajari sedikit tahsin oleh beliau. Sayangnya, kakakku itu harus masuk ke pesantren. Beliau dipersiapkan menjadi seorang hafidzoh lho! Selanjutnya, aku mempunyai kakak baru yang siap mengajariku mengaji. Empat sampai lima pertemuan aku harus menyudahinya. Waktu itu karena aku pergi ke Serawak. Dan selang satu bulan, aku harus mengabdi di Pandeglang, Banten.

Belajar tahsinpun selesai. Sedihnya bukan main! Aku sudah semangatnya minta ampun. Ingat sekali, kakak baruku bilang, “Gia ngajinya udah pinter, namun panjang pendeknya belum konsisten nih!” Bukan Gia namanya kalau menyerah sampai di sini!

Beruntungnya aku, Allah menakdirkan aku untuk mengabdi di sebuah Islamic Boarding School di Pandeglang. Yaps, pesantren! Pesantren yang ada program tahfidz dan KBM-nya. Aku menjadi seorang ustadzah lho! Ustadzah yang mengajar fisika.

“Gia mau membantu saya gak membangun sekolah?” Masih teringat jelas, kalimat pinangan pertama kali, ketika dosenku menawari pekerjaan menjadi guru fisika di sebuah pesantren. Pikirku saat itu, pastinya mau! Karena aku pasti bisa mengambil banyak keuntungan di sana. Salah satunya belajar tahsin bersama ustadzah-ustadzah yang sudah hafidzoh. Senangnya minta ampun! Allah melancarkan perjuanganku belajar tahsin.

Sebulan di sana, aku mencoba merayu salah satu ustadzah yang sudah mendapatkan sanat hafidzohnya. Tentu ia hapal 30 juz. Dan lingkungan ini gak akan aku sia-siakan. Aku harus segera belajar tahsin dengannya. 

Namun, ternyata gak semudah itu. Ia menolakku! Menolak karena ia bilang, ia tak pandai mengajari mengaji. Oh ya Allah… masa iya? Penolakkan pertama membuat hatiku sungguh bertanya-tanya, benarkan hafidzoh itu pelit membagi ilmunya? Astagfirullah…

Aku coba meminang ke ustadzah lainnya. “Bolehkah ustadzah mengajari saya tahsin?” Singkat dan padat pertanyaanku. Ia menjawab, “Afwan bu, saya tidak bisa mengajari ibu tahsin. Ilmu saya belum cukup.” Allahu akbar, aku menangis saat itu juga. Masa iya, gak ada satu orangpun di lingkungan pesantren ini yang mau mengajari tahsin? 

Oke baiklah, aku berusaha berbesar hati. Mungkin belum saatnya. Karena aku masih orang baru. Mungkin butuh pendekatan dulu dengan ustadzah-ustadzah di sini.

Salah satu pendekatan yang aku lakukan adalah mengajari mereka mengoperasikan komputer. Yes, belajar komputer! Mulai dari belajar Microsoft Word, Microsoft Exel, sampai belajar membalas dan mengirim email. Niatku memang pamrih. Sungguh aku pamrih sekali saat itu. Niat mengajarkan komputer, namun pamrih agar mereka mau mengajariku tahsin. Cukup dengan mau mengajariku tahsin.

Minggu selanjutnya, alhamdulilah, aku diberi rezeki sama Allah untuk umrah. Sebelum umrah, aku menyusun doa-doa agar bisa aku panjatkan saat di tanah haram. Salah satunya, “Ya Allah, hambamu ini ingin sekali lancar membaca Al-Qur’an. Luluhkanlah hati para ustadzah untuk mau mengajari hamba.”

Hari kedua di tanah haram, Al Madinah Al Munawaroh, aku salat di Masjid terindah di dunia, Masjid Nabawi. Walaupun cuacanya dingin sekali saat itu, langkah ini sungguh bersemangat sekali untuk salat di sana. InsyaAllah, Allah menjanjikan pahala 10.000 kali lipat dibandingkan salat di masjid lain, kecuali Masjidil Haram dan Masjid Aqsa.

Aku mengaji sambil menunggu Salat Maghrib. Dengan Al-Qur’an berwarna merah muda yang aku bawa dari Indonesia, aku hanya mencoba mengkhatamkan 15 juz lagi. Semoga bisa khatam di tanah haram ini. Aamiin. Dan alhamdulilah, Allah mengizinkannya.


***
Sekitar pukul 16.30 waktu Madinah, bebarapa jamaah ada yang pergi, namun ada juga yang datang. Jamaah yang baru datang langsung mencari tempat-tempat yang kosong untuk ditempati. Termasuk jamaah dari Jordania. Seorang gadis berumur 18 tahun bersama ibundanya yang cukup sulit berjalan. 


Aku melihat gadis itu sibuk mencari kursi agar ibunya dapat duduk di tempat kosong. Alhamdulilah kursinya ia dapatkan. Kebetulan ada satu kursi di sampingku. Lalu, ia menunaikan salat tahiyatul masjid.

Akupun melanjutkan beberapa ayat lagi.

Gadis itu selesai salat. Ia duduk di dekatku. Awalnya, ia tertarik dengan Al-Qur’anku yang berwarna merah muda ini. Ia memberi isyarat, agar diizinkan melihat bagian dalamnya, yang hurufnya berwarna-warni. Maklum ya, Al-Qur’an punyaku ini mempunyai huruf yang berwarna-warni sebagai penanda tajwidnya. 

“What is your name?” tanyaku to the point.

Duh, telingaku yang kurang mendengar atau dia sih yang dialegnya sulit sekali didengar. “Pardon, please,” pintaku.

“Wasaq. Wasaq. Namaku ada di salah satu surah di Al-Qur’an.” Ia membuka Al-Qur’anku. Lalu, membuka Surah Al-Insyiqaqa, Ayat ke-18. Oke, nama ia berarti purnama. 

“Kamu berasal dari negara apa?” tanyaku basa-basi –dalam Bahasa Inggris-. Sayang ia tak mengerti kalimat pertanyaanku.

“Pakistan? India? Turkey?” tanyaku menyebutkan beberapa negara. Sekadar menebak asal negeranya.

“Oh, yes, I come from Jordania!” Jawabnya.

Alhamdulilah, dia akhirnya mengerti maksud pertanyaanku. Duh, gimana supaya lancar mengobrolnya ya. Dia malah bertanya, apakah aku bisa Bahasa Arab? Ternyata di sini Bahasa Inggris gak laku.

“Come on, continue!” Kata Wasaq sambil menunjuk Al-Qur’anku.


Ternyata dia ingin mengaji bersama denganku. Aha! Langsung saja aku to the point meminta ia untuk mengajarkan aku makhorijul huruf yang baik dan benar.

“Wasaq, do you want to teach me for reading this? With perfect makhraj,” pintaku yang sungguh to the point, hehehe.

“Oh sure. Let’s start from Al-Fatihah!” perintahnya.

Alhamdulilah, aku diajari tahsin olehnya. Mulai dari bedanya huruf ha, syin, kaf dan masih banyak hal yang sulit untuk aku bedakan, tapi gadis Jordan ini dengan sabar mau mengajariku. 

Ibu-ibu asal Indonesia sampai kepo melihatku. Wajar yaa, orang Indonesia mah emang kepoan *eh.

Dua jam berlalu. Kami pun Salat Maghrib bersama. Aku sungguh puas sekali. Dua jam yang sungguh berkualitas untuk belajar tahsin, dengan gadis Jordania. Aku menyerap ilmu-ilmu dan pelafalan yang diajarkan olehnya.

Setelah Salat Maghrib, ternyata ia masih betah untuk mengajariku tahsin.

Aku sedih, karena adzan Salat Isya sudah berkumandang. Itu artinya, aku harus menyudahi belajar tahsin dengannya. Ya Allah, aku sungguh bersyukur sekali, engkau menghadiahkan Wasaq untukku. Ia dengan sabar mau mengajariku tahsin, dengan pelafalan makhorijul huruf yang benar.

Aku berpisah dengannya. Aku berpisah dengan ibundanya. “Thank you so much, Wasaq,” dengan mata berkaca-kaca aku mengucapkan terima kasih kepadanya. Kamipun berpisah. Dan kembali ke hotel.

Aku senang sekali. Namun, doaku tetap sama, semoga aku bisa lancar membaca Al-Qur’an.

Hari keempat di Madinah. Hari terakhir sebelum menuju Mekkah.

Alhamdulilah…alhamdulilah…. Ada seseorang menyolek pundakku. Saat itu aku sedang mengaji dengan Al-Qur’an merah muda milikku sambil menunggu waktu adzan dzuhur. Saat aku menoleh, ternyata itu Wasaq!

Maha Kuasa, Allah SWT. Ia mengizinkan aku bertemu dengan Wasaq lagi. Aku heran, dia muncul dari mana ya. Tiba-tiba saja, dia mencolek pundakku. Dan langsung bilang, “Ayo Gia kita lanjutkan belajar mengajinya!”

MasyaAllah, hadiah darimu membuatku terheran-heran. Mataku berkaca-kaca, tak menyangka, aku diberi hadiah lagi oleh Allah. Aku dikasih kesempatan dua jam untuk belajar lagi bersama Wasaq. Tak akan aku sia-siakan pertemuan yang berharga ini!

Adzan Dzuhur berkumandang. Aku sedih sekali saat itu. Sedih untuk kedua kalinya. Karena belajar tahsin dengan Wasaq harus berkahir. Kita berpisah. Ia pun mendoakanku agar aku bisa menyimpan Al-Qur’an ini di dadaku. Ia mengingatkanku sebelum berpisah, untuk terus belajar sampai benar-benar lancar makhraj setiap huruf-hurufnya.


***

Hari keempat di Makkah.

Saat itu hari Jumat. Ternyata banyak penduduk asli Makkah yang melakukan umrah di akhir minggu. Di sampingku, wanita asli Makkah berumur 25 tahun. Kulitnya hitam, badannya sungguh tinggi dan besar. Ia bercadar. Aku agak takut sih, tapi aku berusaha untuk menyapanya. Alhamdulilah, dia bisa berbahasa Inggris.

Tanpa ba bi bu, aku mencoba untuk ia mau mendengarkan Al-Fatihahku. “Maukah kamu mendengarkanku membaca Al-Fatihah dan mengoreksi makhrajnya?” 

Dia jawab, “Sure!”

Aku pun mengaji. Berusaha mempraktikkan apa yang telah Wasaq ajarkan. Wanita itu bilang, “Verry good!” Yaa walaupun ada satu huruf yang salah makharajnya.

Terima kasih ya Allah atas hadiah darimu ini.

Sampai di Indonesia, Alhamdulilah Allah menjawab doaku lagi. Ustadzah akhirnya mau mengajariku belajar tahsin. MasyaAllah… Aku senangnya bukan main! Tak akan aku sia-siakan kesempatan ini. 

Usut punya usut, pembina pondok ternyata menyuruh ustadzah untuk mengajariku tahsin. Lupakan yang namanya gak PD, minderan, sungkan, dan lain-lain. Akhirnya, para ustadzah sudah tidak sungkan lagi untuk mau mengajariku tahsin. Bukan hanya aku yang diajari, tapi seluruh guru KBM –teman-teman timku dari UNJ- pun ikut belajar tahsin bersama para ustadzah. Alhamdulilah…


“Dan demikianlah Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) yang merupakan ayat-ayat yang nyata; sesungguhnya Allah memberikan petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki.” Qs. Al-Hajj 22: 16


10 Cuap Cuap

Write Cuap Cuap
Minggu, Maret 13, 2016 delete

Subhanallah... Bikin kangen kesana lagi ngeliat fotonyaaaa

Reply
avatar
Gia Ghaliyah
AUTHOR
Minggu, Maret 13, 2016 delete

Kapan-kapan umrah backpacker yuk Nic!

Reply
avatar
Unknown
AUTHOR
Minggu, Maret 13, 2016 delete

Bonjour Gia... tulisanmu menginspirasi saya.. merci beaucoup ya.. tetaplah terus mengispirasi ya dek

Reply
avatar
KABAR FEBRI
AUTHOR
Minggu, Maret 13, 2016 delete

Gia tahsinnya skr udah bagus dong? Kapan2 meet up yuk ngaji bareng ajarin aku tahsinnya juga. Heheee :)

Reply
avatar
Gia Ghaliyah
AUTHOR
Minggu, Maret 13, 2016 delete

Beluuuum... belum.. hehe Dari kapan tau ngajak meet up, gak jadi-jadi dah. Lagian sibuuuuk mulu siih dikau

Reply
avatar
Senin, Maret 14, 2016 delete

Maasyaa Allah... Aku masa nangis baca nya ;'))
Semangat lillah kak gia! ^^

Reply
avatar
Gia Ghaliyah
AUTHOR
Senin, Maret 14, 2016 delete

Jajanin dong biar tambah semangat :p :p

Reply
avatar
Unknown
AUTHOR
Minggu, Maret 20, 2016 delete

kaakkk.. tulisan-tulisan kakak selalu menginspirasi... Ma syaa Allah.. ajarin nulis dan nge blog dong kak..hehe ^^ kakak salah satu inspiratorku semenjak di fisika UNJ.. meskipun awalnya saat MPA kakak itu jadi kakak paling jutek..hehehe *becanda yaaa kak hehe

Reply
avatar
Gia Ghaliyah
AUTHOR
Minggu, Maret 20, 2016 delete

*ambil tissu* jadi terharu deh

Demi apaaaah aku jutek? Yeuu itukan akting hhihi

Reply
avatar

Terima kasih telah berkunjung. Yuk tinggalkan jejakmu!