RUU Keadilan dan Kesetaraan Gender #INFO Survey Mading
Betikut ini adalah Info Survey Mading untuk Awal Mei 2012.Ayooo ikut berpartisipasi, Suarakan Pendapatmu!! =D
copy from: ResistNews
Rancangan Undang-Undang KKG yang tengah dibahas
oleh Komisi VII DPR RI mengandung beragam pembahasan yang mendekonstruksi
relasi serta kedudukan pria dan wanita dalam pandangan Islam. Spirit feminisme
dan humanisme yang diusung dalam RUU KKG amat kental. Dengan dalih untuk
menghilangkan diskriminasi gender, RUU ini mendekonstruksi pandangan Islam
tentang peran dan kedudukan pria-wanita.
Bila dicermati RUU KKG ini membawa muatan yang
bertentangan dengan ajaran Islam selain juga terdapat kontradiksi, dan justru
memperparah kedudukan wanita dalam keluarga dan masyarakat. Secara global
bahaya yang dikandung dalam RUU KKG adalah sebagai berikut:
1. RUU KKG ini disusun
berlandaskan SEKULERISME, karena menghilangkan peran syariat Islam yang telah
menata dengan adil relasi pria-wanita dan memberikan kedudukan yang mulia
terhadap wanita, baik secara individu, di dalam keluarga dan masyarakat. Hal
ini tampak dalam Ketentuan Umum Pasal 1, dimana dinyatakan
“Gender adalah pembedaan peran dan tanggung
jawab laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya yang sifatnya tidak tetap dan dapat
dipelajari, serta dapat dipertukarkan menurut waktu, tempat dan budaya tertentudari
satu jenis kelamin ke jenis kelamin lainnya.”
Para penyusun RUU KKG ini berarti menyatakan
syariat Islam sebagai produk budaya yang dapat diubah sesuai dengan waktu,
tempat dan budaya. Padahal syariat Islam adalah wahyu Allah yang tidak akan
berubah, bukan hasil konstruksi budaya.
2. RUU KKG ini membawa semangat
liberalisme, khususnya bagi kaum wanita untuk melakukan tindakan apapun secara
individual. Hal ini bisa dilihat misalnya pada Ketentuan Umum Pasal 1: Poin 2:
“Kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi dan posisi bagi perempuan
dan laki-laki untuk mendapatkan kesempatan mengakses, berpartisipasi mengontrol
dan memperoleh manfaat pembangunan di semua bidang kehidupan.”
Dengan pandangan seperti ini maka RUU KKG telah
menempatkan kebebasan dan inividualisme sebagai pedoman dalam bertindak bagi
perempuan untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan dengan tanpa memandang
halal dan haram.
3.
RUU KKG ini juga berpotensi
menghancurkan tatanan keluarga yang telah diatur dalam syariat dimana peran
suami dan istri, peran ayah dan ibu, telah mendapatkan pengaturan yang mulia
sesuai fitrah dan sesuai wahyu Allah SWT. Hal ini terlihat dalam Pasal 12,
dimana dinyatakan “Memiliki relasi yang setara antara suami dan istri;
Atas peran yang sama sebagai orang tua dalam urusan yang berhubungan dengan
anak; Menentukan secara bebas dan bertanggung jawab jumlah anak dan jarak
kelahiran Atas perwalian, pemeliharaan, pengawasan dan pengangkatan anak”
Terlihat RUU KKG ini menginginkan peran
yang setara bagi pria dan wanita dalam keluarga. Otomatis pengaturan ini
menghilangkan peran ayah-ibu dan suami-istri. Dengan demikian RUU KKG ini
justru berpotensi merusak tatanan keluarga yang telah diatur dengan adil oleh
syariat Islam, dimana istri tidak perlu mencari nafkah dan diberi peran sebagai
ibu dan pengatur rumah tangga.
Meski kelihatan adil, faktanya pasal ini akan
merusak kehidupan para istri/kaum ibu karena selain diposisikan sebagai ibu
mereka juga diberikan peran sebagai pencari nafkah keluarga layaknya suami
mereka. Yang berarti menambah beban bagi para wanita.
Pasal ini juga berpotensi merusak masa depan
anak-anak keluarga muslim karena ibu mereka merasa pengasuhan anak bukan lagi
menjadi kewajiban agung baginya, tetapi peran yang bisa dibagi bahkan dialihkan
kepada orang lain, termasuk dengan suami mereka.
Ada beberapa catatan penting
tentang muatan yang diusung dalam RUU KKG ini adalah sebagai berikut:
Pasal
|
Kritik
|
Ketentuan Umum Pasal 1:
Poin 1.
Gender adalah pembedaan peran dan tanggung jawab laki-laki dan
perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya yang sifatnya tidak
tetap dan dapat dipelajari, serta dapat dipertukarkan menurut waktu,
tempat dan budaya tertentu dari satu jenis kelamin ke jenis kelamin lainnya.
|
· Pasal ini menyamakan ajaran Islam dengan teori sosial budaya serta
produk pemikiran manusia yang memang bisa direkonstruksi sesuai tempat dan
waktu.
· Ajaran Islam tentang kedudukan pria-wanita adalah wahyu Allah yang
bersifat fix dan permanen.
|
Poin 2:
Kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi dan posisi bagi
perempuan dan laki-laki untuk mendapatkan kesempatan mengakses,
berpartisipasi mengontrol dan memperoleh manfaat pembangunan di semua bidang
kehidupan.
|
· Pasal ini mengandung muatan liberalisme/kebebasan, tanpa
mengindahkan lagi peran wanita sebagai anak yang berada dalam perwalian, atau
sebagai istri dan ibu dalam sebuah keluarga. Dengan demikian pasal ini
berpotensi merusak tatanan keluarga muslim.
|
Poin 3:
Keadilan gender adalah suatu keadaan dan perlakuan yang
menggambarkan adanya persamaan hak dan kewajiban perempuan dan laki-laki
sebagai individu, anggota keluarga, masyarakat dan warga negara.
|
· Pasal ini bertentangan dengan fitrah manusia, khususnya kaum
wanita yang memiliki tabiat dasar sebagai ibu dan istri.
· Pasal ini jelas bertentangan dengan syariat Islam yang mengatur
peran dan kedudukan wanita baik sebagai anak maupun sebagai istri dan ibu
dalam sebuah keluarga, di antaranya kewajiban taat pada orang tua atau suami.
Demikian pula bertentangan dengan hukum kewajiban memberi nafkah bagi seorang
ayah atau suami kepada anak gadis atau istrinya.
· Pasal ini dan pasal-pasal lainnya yang serupa justru menambah
beban bagi kaum wanita karena berarti mereka juga sama-sama wajib mencari
nafkah layaknya ayah atau suami mereka.
|
Poin 4:
Diskriminasi adalah segala bentuk pembedaan, pengucilan atau
pembatasan dan segala bentuk kekerasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin
tertentu, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau
menghapuskan pengakuan, penikmatan manfaat atau penggunaan hak asasi manusia
dan kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau
bidang lainnya, terlepas dari status perkawinan, atas dasar persamaan hak
antara pemermpuan dan laki-laki.
|
· Pasal ini mengandung prinsip liberalisme karena menjamin kebebasan
dalam bidang-bidang kehidupan
· Selain itu pasal ini juga bertentangan dengan syariat Islam yang
sudah mengatur posisi dan peran pria-wanita dalam bidang ekonomi, sosial,
politik, dsb. Seperti misalnya wanita tidak wajib mencari nafkah, tidak wajib
berjihad, tidak perlu menjadi kepala negara, dsb.
|
Bab II Pasal 2:
Kesetaraan dan keadilan gender dilaksanakan berdasarkan asas:
a. Kemanusiaan;
b. Persamaan substantif;
c. Non-diskriminasi;
d. Manfaat;
e. Partisipatif; dan
f. Transparansi dan
akuntabilitas.
|
· Terlihat jelas yang menjadi landasan RUU KKG ini adalah humanisme
dan asas manfaat yang subyektif-relatif, sehingga memungkinkan terjadinya perselisihan
di dalamnya.
· Pasal ini juga bertentangan dengan prinsip ajaran Islam yang
landasannya adalah keimanan, bukan humanisme dan asas manfaat/kepentingan.
|
Pasal 3:
a. Mewujudkan kesamaan untuk memperoleh akses, partisipasi, kontrol
dan manfaat antara perempuan dan laki-laki dalam semua bidang kehidupan, dan
b. Mewujudkan kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara yang setara dan adil.
|
Sudah dibahas pada pasal sebelumnya
|
Pasal 4:
(1). Dalam bidang politik dan pemerintahan setiap orang berhak;
c. memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan
|
· Pasal ini ingin menghilangkan hukum Islam yang tidak
memperbolehkan wanita menjabat kepala negara.
· Dalam Islam kaum wanita tetap memiliki hak dan kewajiban beramar
maruf nahi mungkar termasuk kepada penguasa
|
Pasal 4 ayat 2:
Perempuan berhak memperoleh tindakan khusus sementara paling
sedikit 30 % (tiga puluh perseratus) dalam hal keterwakilan di legislative,
eksekutif, yudikatif, dan berbagai lembaga pemerintahan non-kementerian,
lembaga politik dan lembaga non-pemerintah, lembaga masyarakat di tingkat
daerah, nasional, regional dan internasional.
|
· Acuan atau landasan paling sedikit 30% absurd; mengapa harus
minimal 30%? Bukankah yang paling pokok adalah kualitas keterwakilan dan
bukan kuantitasnya?
· Dalam Islam wanita boleh menjadi menyampaikan aspirasi kaumnya dan
beramar maruf nahi mungkar. Ia bisa menjadi anggota majlis ummah ataupun
tidak, yang penting hukum Islam yang mengatur hak dan kewajiban kaum wanita
terlaksana.
|
Pasal 12:
Dalam perkawinan, setiap orang berhak:
a. Memasuki jenjang perkawinan dan memilih suami atau istri secara
bebas;
b. Memiliki relasi yang setara antara suami dan istri;
c. Atas peran yang sama sebagai orang tua dalam urusan yang
berhubungan dengan anak;
d. Menentukan secara bebas dan bertanggung jawab jumlah anak dan
jarak kelahiran
e. Atas perwalian, pemeliharaan, pengawasan dan pengangkatan anak dan
f. Atas pemilikan, perolehan, pengelolaan, pemanfaatan, pemindahan
tangan beserta pengadministrasian harta benda.
|
· Pasal ini berarti bisa memberikan kebebasan perkawinan; muslimah
bisa dengan laki-laki non muslim, sehingga menghilangkan hukum-hukum
pernikahan dalam Islam.
· Pasal ini mengandung muatan yang membahayakan keutuhan keluarga
dalam ajaran Islam, karena tumpang tindihnya perang ibu dan ayah serta istri
dan suami.
· Bila istri diberikan peran setara bukankah berarti istri juga
harus bertindak sebagai pencari nafkah? Bukankah itu berarti menjadi ‘double
burden’(beban ganda) bagi para istri/ibu?
· Kesetaraan perwalian dan pemeliharaan anak jelas mengacaukan peran
dan tanggung jawab suami-istri dalam keluarga, karena berarti ibu bisa
melimpahkan peran ini kepada suami atau pihak lain. Pasal ini berpotensi
merusak pendidikan dan pengasuhan anak dalam keluarga
· Kesetaraan dalam pengadministrasian harta benda juga bertentangan
dengan hukum waris dalam Islam. Pembagian waris dalam Islam telah diatur oleh
Allah dengan seadil-adilnya, di mana pria mendapatkan bagian yang
proporsional karena ia juga berkewajiban menanggung nafkah anggota
keluarganya yang perempuan seperti saudara perempuan dan juga istrinya.
|
Pasal 13:
Untuk bebas dari ancaman, diskriminasi, dan kekerasan, setiap
orang berhak:
a. Atas rasa aman dan mendapatkan perlindungan dari ancaman ketakutan
untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu;
b. Mendapatkan perlindungan dari kekerasan;
c. Mendapatkan perlindungan dari perlakukan yang merendahkan martabat
manusia; dan
d. Mendapatkan perlindungan dari perlakuan diskriminatif
|
· Ukuran merendahkan dan diskriminatif jelas tidak mengacu pada
Islam, tapi pada humanisme dan liberalisme, sehingga berpotensi menghilangkan
sejumlah hukum Islam semisal kewajiban berjilbab, kewajiban menjalankan
kehidupan domestik (keluarga), termasuk pemberian sanksi dari suami manakala
seorang istri melakukan nusyuz (pembangkangan) terhadap perintah suaminya.
|
Pasal 14
c. Menjamin terlaksananya upaya penghapusan diskriminasi dalam
bidang hukum, politik, sosial, ekonomi dan budaya,
f. menyusun dan melaksanakan kebijakan yang tepat untuk mengubah
perilaku sosial dan budaya yang tidak mendukung kesetaraan dan keadilan
gender
|
· Berarti pasal ini akan menjadi acuan untuk penyusunan beragam
agenda untuk mewujudkan liberalisme terhadap kaum wanita dan keluarga.
Termasuk akan melakukan edukasi secara luas untuk melakukan dekonstruksi
terhadap ajaran Islam. Bahkan pasal ini juga bisa mendorong pemberian sanksi
hukum
|
Pasal 15 ayat d:
Menanamkan nilai-nilai kesetaraan dan keadilan gender kepada anak
sejak usia dini dalam keluarga.
|
· Pasal ini akan mendorong penanaman nilai-nilai yang bertentangan
dengan ajaran Islam tentang keluarga secara luas di masyarakat melalui
berbagai institusi di masyarakat yang langsung berhubungan dengan keluarga
semisal PKK, PAUD, Posyandu, dsb.
|
Terima kasih telah berkunjung. Yuk tinggalkan jejakmu!