Sampai Kapan, Bu?
Sumber Gambar |
Bel sudah berbunyi, tepat pukul 12.10 WIB. Tak lama, azan Dzuhur berkumandang. Langkah-langkah kaki santri terdengar begitu menggebu-gebu menuju masjid, masjid sederhana yang bersih nan indah.
Santri putri bergegas menuju masjid, para ustadzahpun tak mau ketinggalan.
Iqomah dikumandangkan.
Imam memimpin salat dzuhur di siang itu.
Usai menunaikan salat, perutku sebenarnya sudah bunyi kriuk-kriuk. Santri berebutan menyalami tangan ustadzah. Rasanya? Nikmat sekali, walaupun perut sudah berisik.
Aku berniat untuk segera memenuhi hasrat perut ini. Namun, dua santri putri masih ingin mengobrol denganku. Ia sepertinya sedang galau.
“Bu, Falah geh sebenernya masih mau lanjut Aliyah di sini,” cerita Falah, santri putri kelas IX.
“Wah setuju! Di sini sudah kualitas bagus sekali. Kamu tahu sendirikan fasilitasnya bagaimana, mewah. Program tahfidznya juga keren, KBM-nya juga bagus. Apalagi ada saya, hehehe. Banyak-banyak mengucap syukur kalau bisa bersekolah di sini,” tanggapku atas cerita Falah.
Falah melanjutkan ceritanya. “Iya geh bu. Falah mau lanjut Aliyah di sini. Tapi Ummi ingin Falah untuk sekolah di tempat lain, yang bukan boarding. Biar Ummi bisa dekat sama Falah.”
“Ooo gitu… Coba rayu lagi ummimu, sambil doakan agar hatinya luluh,” saranku.
“Bu Gia masih tetap di Ibad kan, bu? Saya mau banget lanjut di sini, asal Bu Gia juga masih di sini,” ungkap Fadilah, santriku yang sedaritadi juga ikut mendengarkan curhatan Falah.
“InsyaAllah masih. Sampai…”
Aku belum menyelesaikan kalimat jawabanku, tapi Fadhila langsung menyelaknya. “Sampai kapan Bu? Ah kalau guru fisikanya bukan Bu Gia, saya gak jadi lanjut sekolah di sini deh.”
“Lho kenapa? InsyaAllah saya masih di sini kok,” jawabku meyakini.
“Sampai kapan, Bu?” tanya Falah.
Tak sampai jeda sedetik, aku menjawab, “Sampai jodoh saya datang menjemput.”
“Ih emang jodoh Ibu kapan?” tanya Fadhila.
“Kalau jodoh saya besok datang, ya saya langsung bawa koper dari sini,” ungkapku.
“Ah yaudah, semoga jodoh Ibu masih tiga tahun lagi deh. Sampai saya lulus Aliyah di sini, ya bu hehehe,” rayu Fadhila dengan diiring tawa candanya.
Aku berniat untuk segera memenuhi hasrat perut ini. Namun, dua santri putri masih ingin mengobrol denganku. Ia sepertinya sedang galau.
“Bu, Falah geh sebenernya masih mau lanjut Aliyah di sini,” cerita Falah, santri putri kelas IX.
“Wah setuju! Di sini sudah kualitas bagus sekali. Kamu tahu sendirikan fasilitasnya bagaimana, mewah. Program tahfidznya juga keren, KBM-nya juga bagus. Apalagi ada saya, hehehe. Banyak-banyak mengucap syukur kalau bisa bersekolah di sini,” tanggapku atas cerita Falah.
Falah melanjutkan ceritanya. “Iya geh bu. Falah mau lanjut Aliyah di sini. Tapi Ummi ingin Falah untuk sekolah di tempat lain, yang bukan boarding. Biar Ummi bisa dekat sama Falah.”
“Ooo gitu… Coba rayu lagi ummimu, sambil doakan agar hatinya luluh,” saranku.
“Bu Gia masih tetap di Ibad kan, bu? Saya mau banget lanjut di sini, asal Bu Gia juga masih di sini,” ungkap Fadilah, santriku yang sedaritadi juga ikut mendengarkan curhatan Falah.
“InsyaAllah masih. Sampai…”
Aku belum menyelesaikan kalimat jawabanku, tapi Fadhila langsung menyelaknya. “Sampai kapan Bu? Ah kalau guru fisikanya bukan Bu Gia, saya gak jadi lanjut sekolah di sini deh.”
“Lho kenapa? InsyaAllah saya masih di sini kok,” jawabku meyakini.
“Sampai kapan, Bu?” tanya Falah.
Tak sampai jeda sedetik, aku menjawab, “Sampai jodoh saya datang menjemput.”
“Ih emang jodoh Ibu kapan?” tanya Fadhila.
“Kalau jodoh saya besok datang, ya saya langsung bawa koper dari sini,” ungkapku.
“Ah yaudah, semoga jodoh Ibu masih tiga tahun lagi deh. Sampai saya lulus Aliyah di sini, ya bu hehehe,” rayu Fadhila dengan diiring tawa candanya.
"Yah jangan gitu doooooong doaaanyaaaaaaaaa…”
“InsyaAllah akan ada guru pengganti fisika yang gak kalah keren kok dari saya. Tenang ya… Saya akan tetap berada di sini sampai KBM di sini benar-benar settle. Saya akan tetap mendidik kalian, sampai saya benar-benar yakin kalau saya sudah pantas meninggalkan kalian. Jadi, doain jodoh saya cepat datang ya! Itu sama aja juga mendoakan supaya sekolah kita bisa punya progress yang meningkat,” jelasku kepada mereka.
Perut ini semakin kencang bunyinya. Aku dan dua santriku bergegas menuju mat’ham untuk menunaikan makan siang kami.
“InsyaAllah akan ada guru pengganti fisika yang gak kalah keren kok dari saya. Tenang ya… Saya akan tetap berada di sini sampai KBM di sini benar-benar settle. Saya akan tetap mendidik kalian, sampai saya benar-benar yakin kalau saya sudah pantas meninggalkan kalian. Jadi, doain jodoh saya cepat datang ya! Itu sama aja juga mendoakan supaya sekolah kita bisa punya progress yang meningkat,” jelasku kepada mereka.
Perut ini semakin kencang bunyinya. Aku dan dua santriku bergegas menuju mat’ham untuk menunaikan makan siang kami.
***
Gimana? Dari cerita percakapan di atas, kamu bisa menangkap kodeku kan? *apasih gi*
Mohon doanya agar Ibad ArRahman Islamic Boarding School menjadi sekolah unggulan ya. Aku hadir di sana dengan membawa sebuah visi, yaitu menjadi pionir untuk perkembangan KBM (khususnya Sains) untuk sekolah tersebut. Masih ingat dengan cerita aku dimintai tolong oleh dosenku? “Gia, maukah kamu membantu saya untuk membangun sebuah sekolah?” Tanpa ba bi bu, langsung aku iyakan! Sekarang sedang berproses. Semoga progress-nya segera terlihat.
Kalau kamu ikut mendoakan progress untuk sekolah tersebut, berarti kamu juga ikut mendoakan cepatnya jodohku datang wkwkwk *abaikan kalimat ini*.
Salam,
Sebenarnya bukan masalah waktu yang cepat, tapi masalah memantaskan diri yang memang harus disegerakan, bukan untuk si dia tapi untuk Allah.
"Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh Bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak diketahui mereka." (Qs. Yasin: 36)
Salam,
Sebenarnya bukan masalah waktu yang cepat, tapi masalah memantaskan diri yang memang harus disegerakan, bukan untuk si dia tapi untuk Allah.
Terima kasih telah berkunjung. Yuk tinggalkan jejakmu!