Wahai Para Guru, Harusnya Kalian Cemburu!
Sumber Gambar |
Wahai Para Guru, Harusnya Kalian Cemburu!
Siswa telah mengandalkan Bimbel (Bimbingan Belajar) untuk keberhasilan menjawab soal-soal UN atau untuk memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Lalu apa gunanya sekolah? Apakah sekolah telah berubah fungsinya hanya sekadar produsen ijazah sebagai pemenuhan persyaratan administratif untuk masuk ke jenjang pendidikan berikutnya? Benarkah kredibilitas sekolah di negeri ini sudah merosot tajam dan tak mampu mencetak siswa berkualitas?
Fenomena tersebut sudah sering terjadi. Wahai para guru di sekolah, seharusnya Anda tidak tenang-tenang saja! Apa yang salah dengan sistem sekolah? Apa yang salah dengan kualitas Anda? Harusnya guru cemburu ketika para siswanya ‘berselingkuh’ dengan Bimbel, tidak tenang-tenang saja seperti ini! Kondisi ini seharusnya menjadi tamparan keras bagi sekolah terutama para guru. Maraknya lembaga Bimbel sedikit banyak adalah representasi dari ketidakpercayaan orang tua dan siswa terhadap sekolah formal. Lihat, Bimbel menjamur dan begitu populer, digandrungi bak seperti buah yang sedang musim panen!
Apakah Bimbel sebagai pelengkap (pengayaan) pelajaran di sekolah? Atau… Tidak hanya itu! Apakah karena Bimbel mampu mempersiapkan siswa secara sistematis, intensif dan terpadu dalam mengerjakan soal-soal ujian apapun? Apakah karena Bimbel mempunyai bank soal yang lengkap, variasi soal yang banyak, dapat memprediksi soal seperti apa yang akan keluar pada ujian nanti? Apakah karena Bimbel mempunyai tutor yang berasal dari mahasiswa atau tamatan PTN favorit?
Wahai Para Guru, Harusnya Kalian Cemburu!
Apakah para guru di sekolah sudah tidak layak dipercaya lagi sehingga siswa lebih memilih Bimbel sebagai jaminan kelulusan dengan nilai yang tinggi? Atau sistem pendidikan sekolah yang sudah tidak layak dipercaya? Atau… apakah memang kehadiran Bimbel sangat dibutuhkan untuk mengalihkan tanggungjawab pelayanan pendidikan yang berkualitas dan meringankan tugas yang seharusnya diemban sekolah dan guru?
Silakan dijawab.
Perselingkuhan ini merupakan pemborosan waktu dan biaya. Perselingkuhan ini juga terlalu membebani siswa sehingga kebebasan waktu bagi mereka untuk mengekspresikan dan mengaktulisasikan diri menjadi terbatas karena dari pagi hingga malam harus men-drill soal-soal dan belajar terus secara simultan. Wahai para guru, tegakah kalian melahirkan generasi mesin dan robot penjawab soal?
Cemburu artinya harus bergerak! Ini namanya telah terjadi pemotongan esensi pendidikan di Bimbel. Sudah seharusnya sekolah memperbaiki kinerjanya kepada siswa untuk mengembalikan kepercayaan tersebut. Jika sekolah telah berperan sesuai dengan visi dan misi sekolah, tentu kinerjanya menghasilkan kepuasan bagi siswa. Guru dan sekolah harus bisa mengoreksi cara pembelajaran agar tetap bisa menyenangkan dan memberi layanan pendidikan yang baik, sehingga hak-hak siswa tidak tertinggal. Ingat, substansi pendidikan adalah memanusiakan manusia menjadi manusia sesungguhnya.
Wahai para guru, mari kita berefleksi!
Sekolah dan guru tidak lagi akan dipercaya oleh masyarakat, khususnya siswa yang merasa tidak diberi layanan maksimal di sekolahnya. Dan selama itu pula, lembaga Bimbel tetap akan dijadikan alternatif yang jitu untuk menjembatani masa depan peserta didik untuk diterima dan mengikuti pendidikan di jenjang berikutnya.
Ironi Bimbel Sebagai Bahan Evaluasi Sistem Pendidikan
Baiklah, mari kita akui, Bimbel lahir karena adanya kekurangan dari pendidikan formal, yaitu sekolah. Sistem pendidikan formal seperti di sekolah memang belum baik, karena masih menitikberatkan pada nilai atau hasil saja. Penyelenggara Bimbel, ada yang tergerak mendirikan bimbel dengan alasan ingin terlibat dalam menyelesaikan persoalan peningkatan kualitas pendidikan nasional. Namun, Bimbel hadir sebagai katalis pemburuknya, yaitu komersialisasi pendidikan. Industri bimbel telah mengambil celah bisnis itu. Penyelenggara juga butuh mata pencaharian untuk mendapatkan uang dan perlu menciptakan lapangan kerja bagi yang mempunyai kemampuan mengajar.
Wahai Para Guru, Harusnya Kalian Cemburu!
Memang apa istimewanya Bimbel? Pendidikan berbasis teknologi informasi justru telah lebih dulu dikembangkan bimbingan belajar daripada sekolah formal. Banyak Bimbel menggunakan sarana komputer, internet dan multimedia. Para pembimbingnya juga masih fresh graduate. Cara mengajarnya juga sangat menyenangkan, tidak membosankan, sungguh up to date dengan informasi dan ilmu-ilmu pengetahuan baru.
Dibanding melihat sisi komersialisasi pendidikan, pemotongan esensi pendidikan di Bimbel dan lain sebagainya, ironi Bimbel yang telah terjadi dapat dijadikan bahan untuk mengevaluasi kesalahan apa yang telah diperbuat oleh sekolah dan para gurunya. Ya, sekolah dan para guru harus berani melakukan koreksi dan introspeksi diri terhadap nilai minus yang disandangnya, sehingga para siswa dan orang tuanya lebih mengandalkan Bimbel untuk melakukan proses belajar.
Sekolah jangan hanya memikirkan bagaimana caranya naik kelas, lulus, masuk sekolah/universitas yang bagus. Sekolah harus mulai berbenah diri untuk melakukan perubahan dari berbagai aspek, baik sarana-prasarana, kurikulum, sumber belajar dan sebagainya. Selain itu, kualitas guru di sekolah juga harus ditingkatkan! Jangan sampai kualitas guru di sekolah “kalah” oleh kualitas pengajar di Bimbel.
Guru jangan hanya terpaku pada kurikulum tanpa mau mencari inovasi-inovasi dalam meramu materi dan menciptakan metode pembelajaran yang sesuai dengan tingkat perkembangan. Guru juga harus dilatih bagaimana mempersiapkan semua model pendekatan baru dalam implementasi praktik pembelajaran. Seperti, pembuatan satuan pembelajaran, evaluasi, alat bantu, perubahan filosofi, pergeseran paradigma interaksi pembelajaran dengan siswa dan sebagainya. Tanpa ada perubahan yang baik dilihat dari aspek profesionalisme guru, sulit dibayangkan akan terjadinya keberhasilan praktik pembelajaran di sekolah.
Jika siswa merasa percaya diri mengikuti berbagai seleksi setelah beberapa minggu belajar di tempat Bimbel, maka mengapa ia tidak percaya diri setelah enam tahun belajar di SD atau tiga tahun belajar di SMP/SMA/MA/SMK? Jawabannya mungkin saja metode belajar yang tidak tepat. Guru harus melakukan perubahan paradigma “mengajar” dan metode atau strategi dalam proses belajar dan pembelajarannya. Jika guru-guru di sekolah tidak melakukan terobosan strategi pembelajaran yang tepat, jangan heran proses belajar yang dilakukan di sekolah selama bertahun-tahun tidak akan berkenan di hati para siswa, dan mereka merasa bangga dengan lembaga Bimbel yang diikuti.
Ya, guru, sekolah, dan orang tua siswa pasti telah melakukan upaya yang terbaik. Namun, jika guru hanya “menggugurkan” kewajiban melaksanakan proses pembelajaran yang ala kadarnya, sekolah hanya sekadar menjalankan perannya sebagai tempat penghasil nilai dan pencetak ijazah, dan orang tua hanya mendukung dari segi doa dan dana, maka selama itu pula akan lahir lulusan-lulusan sekolah yang tidak berkualitas. Ingat, cemburu itu artinya bergerak. Ayo, mari bergerak!
Sekali lagi, Selamat Hari Pendidikan! Wahai para guru jangan tenang-tenang saja, harusnya kalian cemburu!
Gia Ghaliyah, salah seorang tenaga pendidik yang sedang terbakar api cemburu.
Terima kasih telah berkunjung. Yuk tinggalkan jejakmu!